Saturday 31 May 2008

Wisata Budaya di Asia Africa Art & Culture Festival

Peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika (1955) direvivitalisasi melalui sudut pandang hubungan seni budaya antarbangsa Asia Afrika. Gedung Merdeka yang terletak di kota Bandung, menjadi saksi bisu di mana para pemimpin bangsa-bangsa se-Asia Afrika (1955) menyampaikan aspirasinya untuk bersatu meraih kemerdekaan bangsanya dari kolonialisasi bangsa Eropa, serta berupaya membangun stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara di kawasan Asia dan Afrika yang bebas dan merdeka.

Bandung pun menjadi ibukota Asia Afrika pada tahun 1955 yang kini diakui oleh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dalam upaya membuka ingatan kolektif dunia, khususnya bangsa Asia dan Afrika, pemerintah Indonesia dan anggota Konferensi Asia Africa, menggelar acara peringatan tiap tahunnya di Gedung Merdeka, Bandung.

Pada tahun ini ingatan kolektif masyarakat Asia Afrika menggelar perhelatan Asia Africa Art & Culture di Gedung Merdeka, Bandung, pada tanggal 22-24 April 2008. Pada Opening Ceremony dimulai dengan pergelaran seni budaya Indonesia oleh para penari dan koreografer dari Jawa Barat.

Tidak hanya itu, para delegasi yang akan mementaskan keseniannya juga ikut melakukan historical walk dari Hotel Savoy Homann hingga Gedung Merdeka. Kemudian diikuti oleh ribuan siswa-siswi kelas satu dan dua dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, serta parade kesenian tradisi Jawa Barat yang organisasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat.

Perhelatan itu menguatkan penanda persaudaraan bangsa-bangsa Asia Afrika pada tahun ini melalui pertemuan seni budaya antar bangsa.

“Bandung memiliki daya tarik objek wisata dunia. Dan kegiatan ini majadi salah satu upaya untuk mengimplemetasikan kesepakatan Konferensi Asia Afrika (KAA) dengan melakukan kerjasama di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya antar bangsa-bangsa Asai Afrika,” jelas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H.I. Budhiyana, di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu (23/4) pagi.

Kontingen negara Asia Afrika yang turut serta dalam perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival antara lain dihadiri oleh senimana dari Mesir dan India, sementara perwakilan dari Korea Selatan, Jepang, China dan Indonesia dihadiri oleh seniman muda dan mahasiswa/i Indonesia yang secara khusus mempelajari kebudayaan bangsa-bangsa tersebut.

Perhelatan yang digelar pada Rabu (23/4) pagi dihadiri oleh ribuan masyarakat kota Bandung dan beberapa tamu negara dari Asia Afrika yang turut menyaksikan parade kesenian Jawa Barat. Sementara seni budaya Indonesia yang dikemas dalam tarian massal disajikan oleh puluhan penari dari Jawa Barat dengan menampilkan koreografi yang mengolaborasikan tarian khas Indonesia yang ada dari Sabang sampai Merauke. Tarian itu juga dikemas dengan busana tradisi elaboratif yang merupakan kolase warna-warni seni budaya Indonesia.

Andri Hadi, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, menegaskan bahwa acara yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat beserta Pemda provinsi Jabar ini menguatkan hubungan erat bangsa-bangsa Asia Afrika yang terlibat dalam KAA pada tahun 1955 hingga sekarang.

“Forum KAA mempererat hubungan negara Asia Afrika. Solidaritas politik dan kerjasama sosial budaya pada dasarnya adalah hubungan erat antarmasyarakat Asia Afrika. People to people contact. Bandung is capital of Asia Africa,” papar Andri Hadi di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu (23/4) pagi.

Sementara Gubernur Jabar, Danny Setiawan mengatakan bahwa perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival adalah komitmen bangsa Indonesia terhadap KAA 1955. perhelatan itu sendiri merupakan upaya Pemda Jabar dalam merevitalisasi peristiwa bersejarah pada tahun 1955.

Persiapan perhelatan seni budaya itu memang nampak kurang maksimal dengan berbagai kendala teknis dan kurang signifikannya pengamanan dari aparat kepolisian. Perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival dinilai kurang publisitas, karena tidak semua masyarakat kota Bandung mengetahui perhelatan tersebut. Hal ini terlihat dari kurang antusiasnya masyarakat kota Bandung terhadap peristiwa budaya Asia Afrika tersebut.

Masyarakat yang datang ke Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, hanya datang karena rasa ingin tahu karena kemacetan di jalan-jalan protokol Rabu (23/4) pagi itu. Antusias para pelajar dalam pawai pelajar di hadapan para delegasi Asia Afrika terlihat biasa saja.

Mereka datang atas intruksi kepala sekolah untuk hadir dalam perhelatan budaya Asia Afrika tersebut, juga karena panitia pelaksana kegiatan itu terobsesi untuk mendapatkan award dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan harapan jumlah pelajar yang terlibat dalam parade mencapai lebih dari 5000 siswa. Tapi, hal itu gagal dilakukan karena jumlah yang dimaksud tidak tercapai.

Pada Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival yang digelar di tempat dilaksanakannya Konferensi Asia Africa (1955) lebih kurang bagus dalam sajian kemasan acaranya. Lagi-lagi panitia pelaksana berapologi bahwa kegiatan semacam ini hanyalah embrio dari kegiatan tahunan. Peringatan KAA akan dikemas dengan perhelatan seni budaya, melalui gelaran pertunjukan kesenian dan budaya tradisi dari masing-masing bangsa Asia dan Afrika.

Perwakilan seni budaya tradisi dari negeri Myanmar hanya ditampilkan sebuah rekaman dokumentasi tarian tradisi. Itu pun tidak dilengkapi nama atau jenis tariannya. Pasalnya, Staf Departemen Luar Negeri yang menangani kegiatan ini hanya menerima kepingan Compact Disc dari Konsulat/Kedutaan Myanmar.

Kesenian dari negeri Jepang, Korea Selatan, China ditampilan oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang mempelajari kesenian tradisi bangsa-bangsa tersebut. Sehingga penonton dan undangan yang menyaksikan kesenian tersebut terheran-heran karena orang yang membawakan pertunjukan dan bangsa-bangsa itu orang Indonesia sendiri.

Dari tujuh negara yang terlibat dalam pergelaran di acara Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival pada Kamis (24/4) malam, hanya Mesir dan India yang menyajikan seni tradisinya dengan serius, artinya bukan orang Indonesia yang menjadi seniman Jepang, Korea Selatan atau China.

Mesir menyajikan seni tradisi yang sudah menjadi hiburan masyarakat Mesir saat ini, yaitu nyanyian yang diiring alat perkusi serta tarian Rumi. Kesenian tersebut disajikan oleh kelompok seniman yang bernama El nil Muick Tro'ip.

Kelompok seniman itu terdiri dari 8 orang musisi dan penyayi serta satu penari Rumi. Mereka adalah Adel Sman, Rowd Shisna, Goda Hikal, Salama, Mohammed Elgamel, Robap Sadk, Mohme Ixlose, dan Anter Engwi.

Kelompok ini sering tampil di acara resmi kenegaraan Mesir dan seniman keliling yang biasa dibayar untuk menghibur dalam suatu pesta pernikahan. Penampilan El nil Muick Tro'ip di Gedung Merdeka, Kamis (24/4) malam, menjadi sorotan para tamu dan undangan. Selain karena musik, nyanyian dan tarian Rumi yang atraktif disajikan dengan apik, busana mereka yang khas budaya Timur Tengah mengingatkan penonton pada suasana bulan suci Ramadhan dan film Ayat-Ayat Cinta.

Suasana pentas pun berganti dengan nuansa kultur India setelah penayangan profil wisata negeri Filipina. Tapi bukan film India dalam bentuk pertunjukan pentas, karena tidak ada tarian dan nyanyian di sana.

Ketika genjring berbunyi saat sang penari terbaik dari India, Pooja Bhatnagat, memasuki area pentas dengan pose tarian khas bertemakan Buddha yang berjudul Khatak karya penari sekaligus koreografernya, yaitu Pooja Bhatnagat.

Usai Pooja Bhatnagat menari solo ia kemudian menari lagi dalam tarian Bharathnalyan karya Janakhi Shrikanth dengan ditemani para penari lain, antara lain Rupa Manoj, Shilpi Triphathi, Srishti Tripahthi, Paringdi Pardeshi, Aloy Roy, dan Tera Roy. Mereka adalah para penari yang dibina oleh Mr. Singh, Direktur Jawaharlal Nehru Indian Culture Center, Pusat Kebudayaan yang berada di bawah kewenangan Kedutaan Besar India di Jakarta.

Mr. Singh dalam pengantar pertunjukannya mengatakan bahwa kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk menguatkan hubungan kultur melalui pertukaran apresiasi seni budaya antara Indonesia dan India.

“Indonesia dan India bisa berbagi kekayaan seni budaya masing-masing negara sebagaimana spirit Konferensi Asia Afrika yang dirintis oleh Mr. Jawaharlal Nehru,” kata Mr. Singh di Gedung Merdeka, Bandung, Kamis (24/4) malam.

Closing Ceremony Asia Africa Art & Culture Festival pada Kamis (24/4) malam itu ditutup dengan pertunjukan kolaboratif yang dipentaskan oleh seniman Jawa Barat bersama mahasiswa dan mahasiswi yang mewakili bangsa-bangsa anggota Asia Afrika.

Meski perhelatan seni budaya se-Asia Afrika itu berjalan lancar. Namun panitia penyelanggara yang berasal dari SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) Jawa Barat dan Departemen Luar Negeri RI, menyesalkan persiapan event yang tidak terkoordinasi dengan baik jauh-jauh hari.

“Event ini memang kurang dipersiapkan dengan matang. Saya saja terlibat pada dekat waktu pelaksanaan. Kepastian anggaran kegiatan ini juga menjadi salah satu faktor kesuksesan. Tapi hal ini wajar karena baru kali ini peringatan KAA dilaksanakan dengan format seperti ini,” jelas Boy Worang, salah satu panitia Asia Africa Art & Culture Festival 2008, di Gedung Merdeka, Bandung, Kamis (24/4) malam kepada awak KOKTAIL Bandung.

Banyak hal yang semestinya tidak terjadi dalam perhelatan besar itu mengganjal kesuksesan perhelatan tersebut. Hingga terkesan bahwa perhelatan besar sekelas Asia Afrika tidak jauh berbeda dengan pesta perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia di lingkungan Rukun Warga atau Kecamatan di Jawa Barat.

Buku acara Asia Africa Art & Culture Festival yang lengkap dan komprehensif pun tidak ada. Keterangan lengkap mengenai seni budaya yang ditampilkan mewakili bangsa-bangsa yang terlibat dalam perhelatan nyaris tidak tersedia, sehingga wartawan yang meliput harus mondar-mandir meminta keterangan penampil dari peserta festival karena keterangan itu memang tidak disiapkan sebelumnya.

Perhelatan Asia Africa Art & Culture Festival yang dinilai bertaraf internasional, meski pada nyatanya penggarapannya masih lokal itu, menghabiskan anggaran APBD Jawa Barat sebesar 1,1 miliar rupiah. Sebuah pesta budaya yang cukup besar menghabiskan anggaran Pemda provinsi Jabar di akhir masa kekuasaan Danny Setiawan dan Nu’man Abdul Hakim.
Akan tetapi hingga bulan Mei 2008 Disbudpar Prov Jabar belum membayarkan hutang dana kepada panitia kegiatan tersebut di atas karena mereka menolak potongan pajak 15% di luar perjanjian awal kesepakatan pelaksanaan kegiatan tersebut. (Argus Firmansah/KOKTAIL/Bandung).