200 juta rupiah dihabiskan untuk membiayai Braga Festival 2007 kali ini dengan harapan dapat meningkatkan kuantitas wisatawan ke Jawa Barat dan bandung sebagai titik pusat kegiatan kepariwisataannya. Dana itu belum dihitung dengan dana sponsor pada even tersebut. Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat dijadikan pusat kegiatan promosi aset pariwisata Jawa Barat. Hal ini guna mendukung upaya pemerintah pusat dalam meningkatkan devisa negara dari pariwisata daerah melalui Visit Indonesia Year (VIY) 2008, khususnya di daerah Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bandung bekerjasama dengan sebuah event organizer yang dikelola oleh putri Gubernur Jabar, Winny Citra Dewi Utami, menggelar Braga Festival 2007 di Jalan Braga, Bandung, Sabtu sore kemarin (29/12). Kegiatan pariwisata Jawa Barat itu digelar dalam bentuk festival yang bertujuan menampilkan potensi pariwisata daerah Jawa Barat yang diunggulkan guna meningkatkan pendapatan daerah dari bidang pariwisata.
Braga Festival 2007 dibuka secara langsung oleh Danny Setiawan (Gubernur Prov. Jabar), yang dihadiri oleh HM Roeslan (Ketua DPRD Provinsi Jabar), Lex Laksamana (Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat), Budhiana (Kadisbudpar Provinsi Jabar), Dada Rosada (Walikota Bandung), Saini KM (Budayawan), serta tokoh masyarakat Bandung. Danny Setiawan dalam sambutan sekaligus pembukaan kegiatan Braga Festival 2007 mengatakan, bahwa kegiatan tersebut dalam rangka mendukung program “Visit West Java 2008” pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Kekayaan seni budaya dan daerah serta aset wisata Jawa Barat lainnya perlu ditingkatkan penataan, promosi, dan kegiatannya. Daerah Bandung dan sekitarnya menjadi target peningkatan jumlah wisatawan. Jalan Braga, misalnya, memiliki kekayaan sejarah arsitektur dan budaya. Oleh sebab itu, kawasan Braga dapat dijadikan sarana komersial tanpa menghilangkan nilai-nilai sejarahnya. Jalan Braga sebagai jantungnya kota Bandung sekaligus Jawa barat dalam bidang kepariwisataan. Itu bermanfaat dalam upaya pemerintah daerah Jawa Barat dalam membantu upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat Jawa Barat.
Acara seremonial dibuka oleh Danny Setiawan dan Dada Rosada dengan memukul dog-dog secara bersamaan, kemudian pelepasan pawai kelompok marching band kota Bandung diiringi pawai sepedah ontel dari Paguyuban Sapadah Baheula yang mengenakan kostum gaya Demang, Bupati pasundan pada jaman Kolonial, juga pawai motor besar tua.
Sementara Budhiana dalam kaitannya dengan kegiatan Braga Festival 2007 menyatakan kepada wartawan, bahwa Braga Festival 2007 ini adalah kemasan kilas balik kepariwisataan di Jawa Barat. Selain itu Budhiana juga mengakui bahwa kegiatan festival ini memang kurang maksimal. “Persiapan festival ini kurang mantap, dan pendek waktunya sehingga kemasan acara kurang penataan. Padahal dalam kegiatan ini diharapkan setiap daerah mengirimkan wakil daerah masing-masing tentang prestasi pariwisatanya,” kata Budhiana. “Dan bandung menjadi fokus pertama pariwisata Jawa Barat pada tahun 2008,” tambahnya.
“Secondline-nya adalah daerah Bogor, kemudian Cirebon, dan Merak. Mengapa Bandung, karena karena sarana dan infrastrukturnya lebih baik. Bogor menjadi pilihan kedua karena aksesibilitasnya lebih baik ketimbang daerah Cirebon. Jadi, jangan iri atau jealous mengapa Bandung menjadi fokus utama pariwisata Jawa Barat,” lanjut Budhiana kepada wartawan. Sementara untuk mendukung peningkatan program kepariwisataan itu, aspek keamanan di Bandung menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah dan kota Bandung, sehingga hambatan pelaksanaan program kepariwisataan 2008 dapat diselesaikan.
Hal lain juga dikemukakan oleh Budhiana perihal situs-situs wisata sejarah seperti Gedung Indonesia Menggugat, serta situs Gua Pawon di daerah Padalarang, Kabupaten Bandung. Mengapa situs wisata sejarah terkesan terbengkalai, Budhiana menyatakan bahwa sesuai dengan UU No. 2 tahun 1992, situs sejarah berskala nasional adalah tanggungjawab pemerintah pusat. “Kami di daerah tidak punya keleluasaan untuk memaksimalkan pemeliharaan situs sejarah berskala nasional itu. Oleh karena itu kami sedang mengidentifikasi masalah tersebut dan akan mengadakan evaluasi kegiatan di sana,” tukas Budhiana.
Braga Festival 2007 yang berlangsung mulai tanggal 29 - 31 Desember 2007 diisi dengan stand-stand pameran produk wisata kuliner, wisata belanja pakaian (clothing), wisata musik, seni rupa, fotografi, serta wisata seni budaya baik yang tradisi seperti Topeng Rehe hingga yang kontemporer seperti modern dance. Namun sangat disayangkan banyak kalangan menilai kegiatan festival itu sebagai kegiatan kedinasan yang sudah tentu bertujuan untuk menghabiskan anggaran tahunan Pemda Jabar. Pengunjung ke arena festival tidak begitu banyak, serta stand-stand pameran tidak memiliki pilihan greget atau ciri khas Bandung yang kuat, jauh dari karakter Braga yang syarat dengan nilai sejarah dan seni budayanya. Braga Festival 2007 itu tidak memiliki karakter festival yang umumnya ditemui masyarakat, festival di jalan Braga itu tidak disemarakan dengan pilihan-pilihan kegiatan yang kuat dan berkualitas dengan bercirikan Bandung atau Jawa Barat.
Kesan biasa terhadap kegiatan festival di jalan Braga itu terlihat dari animo pengunjung yang kurang bergairah. Kesan ini muncul dari opini pengunjung dengan membandingkan Braga Festival pada tahun 2005. Namun demikian, banyak juga masyarakat yang melintas di simpang jalan Braga-Naripan berhenti sejenak ke arena Braga Festival melihat mobile stage dari radio swasta di Bandung dan tenda-tenda carnavil yang diisi oleh stand-stand wisata juga stand dinas pariwisata Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung)
Sunday, 30 December 2007
Sunday, 18 November 2007
Lifestyle Man’s Improvement
The year of 2007 will end immediatelly. Facing the New Year 0f 2008 must have a brand new performance of yourself. Here I give you some tips by facing the year, new fahion of your life.
Are you searching the way on how you life in the big city. This ain’t about how you got the job as well as you wanted, but how do you performs your personality as yourself. About fashion of life, of course. What look like your appereance of being human which was socialization in your environtment, does you’ve got the best performance as well?
You need the guide? Reading magazines would helpfull to find out the appropriate direction so you can show who you are as well. But, what kind of guidance you needed. Now you steps forward after by deciding the brillion choice, found out the path of your lifestyle establishing.
A man just like woman, you have to do something that costing your price of life. How is that achievement taken for granted? At first, you may have to changes your fashion styling. See how your shirt, neckwear, accessories, shoes, etc., does Robert Talbott clothing desain was fashionable to reach your well performance? Do you like an New York fashion design, or Paris one, or London one, or which one? Chooses your self fashion design as you like. But, remember, your choice is your self price’s.
Peter Murphy in Improving Self Esteem in 10 Simple Steps, at 5th point said, “Do new things, try different activities that will help you know what gifts you have. Your talents must be cultivated and developed. Take pride in what you have.” Find out the best product and accessories for your style. For example, Bulgari products which is evolution of style following the changes in time, taste and habits. Bulgary creations is permeated with a spirit of excellence, hence the attention to detail and the research for absolute quality, typical of each product, coexist with an innate yearn to surpass oneself and respond passionately to the ever changing market's request.
The Bulgari style is, in fact, a balance mix of classicism and modernity in a continous search for innovative design and materials, with a special attention toward colour combinations. The sense of volume, the love for linearity and symmetry, and certain details recalling art and architecture are classic characteristics of the Bulgari creations.
Thinking about dress’s fashion is the same thing like you thinks about who you are. Then how you publish an image of your. This is the reason why you have to considering your fashion because that’s would be your figure when anyone else know you.
Now you’re in the experiment of life style. This is like a journey of life style isn’t it? Well, if you felt comfort on this way you may have the new vision about how you enjoying your life in the big city.
Peter Murphy said at the 9th point that you have to “Respect yourself. This allows you to gain respect from others. More than anything else, love yourself, you deserve it. It is you who should be able to value your worth, despite what other people think.” Do you?
Well you move to the place where you living now. Where is it your apartemen? Who’s your next door girl? Hahaha…I think you may have to thinking about your living lifestyle. Of course that’s important for yourself and your relation. Maybe you would visited by your friend from New York or Paris…or event from your village neighbour. See what you got in your apartement. What the composition of furniture and so on are convenient for your home? You may have looking the product catalogue of furniture or merchandise to figure out your inspiration to make your place homing. Try to follow the changes of life style evolution by reading the best magazines to help you.
Thinks about your auto too. May be you want another experience with new auto car. What kind of your taste if you decide to buy a new hightech car. Still using old car with a brilliance modification of course, or Italian sports car, the Lamborghini Spyder, taking the already exotic vehicle and adding an even greater degree of individualisation, and with features such as the wing doors and a thoroughly sporty bodykit, the fettled model is automobilia at it finest. Which is your taste?
It is important to understand that life style not just spending your money with shooping attitudes. Psycologically, mode of life style give you a space where you can explores what your ideas to collaborates with a famous brand products. Surelly, you need an apreciation from people around you, with good point of course. In fact, everybody needed the best apreciation for their personalities. Self pricing motivated your moves in your life. Meanwhile you considering your goals and a kind of self achievement in your bussiness.
For some case, many of other people take the hard way reach they mode of life style even they got a million dollar. They confusing caused by they life style knowledge. Actually, life style does not a scientific knowledge. It is a million experiences of managing they personality within they self performance.
Life style improvement is really important for you, so have to considering this as if you want got your own life just like you want to be. Man is one of the superior man kind, perfectlly works, communicated, fashionable, good performance. Are you?
Even you got older now, it is nothing to deal with the time. Do what you wanted to do. See how your baby grown up; learn to stand up or steps. How you get an insurance for they future? I mean that your whole best performance life style affected you bussiness goals. So, I think you have a step forward about how to rising your benefit for the next day.
The other side of this article I want to say that your mode of performance really affected for your bussiness deal, real benefits, or even your other activities. Because not everyone knows or realized that performance is about how others looking of you in everwhere you are.
At the second point from Improving Self Esteem in 10 Simple Steps, Peter Murphy said about accomplishments, that is, “Aim for accomplishments and not perfection. There is nothing wrong in aiming for perfection - however, most of the people who failed in this goal ended up unhappy. Aim for accomplishment and enjoy doing it.” Enjoying what you doing is better than doing nothing. Take a chances, it may will never come back.
So if you got a desire to changes your life style, suddenlly, take it and do it well. Time is running out from your breath you know. If there are come a good chance to changes when you got money, good health, and at the best situation, you better doing that well as soon as possible before anyone else take that chances. Are you dares to changes your life style at this moment? (By Argus Firmansah)
Are you searching the way on how you life in the big city. This ain’t about how you got the job as well as you wanted, but how do you performs your personality as yourself. About fashion of life, of course. What look like your appereance of being human which was socialization in your environtment, does you’ve got the best performance as well?
You need the guide? Reading magazines would helpfull to find out the appropriate direction so you can show who you are as well. But, what kind of guidance you needed. Now you steps forward after by deciding the brillion choice, found out the path of your lifestyle establishing.
A man just like woman, you have to do something that costing your price of life. How is that achievement taken for granted? At first, you may have to changes your fashion styling. See how your shirt, neckwear, accessories, shoes, etc., does Robert Talbott clothing desain was fashionable to reach your well performance? Do you like an New York fashion design, or Paris one, or London one, or which one? Chooses your self fashion design as you like. But, remember, your choice is your self price’s.
Peter Murphy in Improving Self Esteem in 10 Simple Steps, at 5th point said, “Do new things, try different activities that will help you know what gifts you have. Your talents must be cultivated and developed. Take pride in what you have.” Find out the best product and accessories for your style. For example, Bulgari products which is evolution of style following the changes in time, taste and habits. Bulgary creations is permeated with a spirit of excellence, hence the attention to detail and the research for absolute quality, typical of each product, coexist with an innate yearn to surpass oneself and respond passionately to the ever changing market's request.
The Bulgari style is, in fact, a balance mix of classicism and modernity in a continous search for innovative design and materials, with a special attention toward colour combinations. The sense of volume, the love for linearity and symmetry, and certain details recalling art and architecture are classic characteristics of the Bulgari creations.
Thinking about dress’s fashion is the same thing like you thinks about who you are. Then how you publish an image of your. This is the reason why you have to considering your fashion because that’s would be your figure when anyone else know you.
Now you’re in the experiment of life style. This is like a journey of life style isn’t it? Well, if you felt comfort on this way you may have the new vision about how you enjoying your life in the big city.
Peter Murphy said at the 9th point that you have to “Respect yourself. This allows you to gain respect from others. More than anything else, love yourself, you deserve it. It is you who should be able to value your worth, despite what other people think.” Do you?
Well you move to the place where you living now. Where is it your apartemen? Who’s your next door girl? Hahaha…I think you may have to thinking about your living lifestyle. Of course that’s important for yourself and your relation. Maybe you would visited by your friend from New York or Paris…or event from your village neighbour. See what you got in your apartement. What the composition of furniture and so on are convenient for your home? You may have looking the product catalogue of furniture or merchandise to figure out your inspiration to make your place homing. Try to follow the changes of life style evolution by reading the best magazines to help you.
Thinks about your auto too. May be you want another experience with new auto car. What kind of your taste if you decide to buy a new hightech car. Still using old car with a brilliance modification of course, or Italian sports car, the Lamborghini Spyder, taking the already exotic vehicle and adding an even greater degree of individualisation, and with features such as the wing doors and a thoroughly sporty bodykit, the fettled model is automobilia at it finest. Which is your taste?
It is important to understand that life style not just spending your money with shooping attitudes. Psycologically, mode of life style give you a space where you can explores what your ideas to collaborates with a famous brand products. Surelly, you need an apreciation from people around you, with good point of course. In fact, everybody needed the best apreciation for their personalities. Self pricing motivated your moves in your life. Meanwhile you considering your goals and a kind of self achievement in your bussiness.
For some case, many of other people take the hard way reach they mode of life style even they got a million dollar. They confusing caused by they life style knowledge. Actually, life style does not a scientific knowledge. It is a million experiences of managing they personality within they self performance.
Life style improvement is really important for you, so have to considering this as if you want got your own life just like you want to be. Man is one of the superior man kind, perfectlly works, communicated, fashionable, good performance. Are you?
Even you got older now, it is nothing to deal with the time. Do what you wanted to do. See how your baby grown up; learn to stand up or steps. How you get an insurance for they future? I mean that your whole best performance life style affected you bussiness goals. So, I think you have a step forward about how to rising your benefit for the next day.
The other side of this article I want to say that your mode of performance really affected for your bussiness deal, real benefits, or even your other activities. Because not everyone knows or realized that performance is about how others looking of you in everwhere you are.
At the second point from Improving Self Esteem in 10 Simple Steps, Peter Murphy said about accomplishments, that is, “Aim for accomplishments and not perfection. There is nothing wrong in aiming for perfection - however, most of the people who failed in this goal ended up unhappy. Aim for accomplishment and enjoy doing it.” Enjoying what you doing is better than doing nothing. Take a chances, it may will never come back.
So if you got a desire to changes your life style, suddenlly, take it and do it well. Time is running out from your breath you know. If there are come a good chance to changes when you got money, good health, and at the best situation, you better doing that well as soon as possible before anyone else take that chances. Are you dares to changes your life style at this moment? (By Argus Firmansah)
Are You A Fan's Of Catherine Zeta-Jones
Are you a fan’s of Catherine Zeta-Jones? Here I give you a news of about her as well. This articles was tittle as “A Woman We Love: Catherine Zeta-Jones” by Mike Sager in www.esquire.com, a famous male magazine since 1933, wroten at February 2nd last 2003; http://www.esquire.com/women/women-we-love/ESQ0203-FEB_ZETAJONES_rev
Here’s this the articles you needed to know about Catherine Zeta-Jones from Mike Sager, Esquire Magazine.
Catherine Zeta-Jones has three names, two long legs, one big voice, and a world at her feet. And she was a star long before she was anything else.
Black Peugeot With Tinted Windows purred along a narrow, winding road on the south shore of Bermuda, following impatiently behind a trio of puttering minivan taxis and a shiny red motor scooter--an impromptu convoy rolling at a stately twenty-five miles per hour past old stone walls, gracefully curved palm trees, and pastel-colored houses.
Turning right into a private drive, the Peugeot gunned up a steep incline onto the manicured grounds of the Ariel Sands resort. The first British subject washed up on the shores of this island nearly four hundred years ago, the victim of a shipwreck. Settlers began arriving in 1612; among the earliest was a man from Northern Ireland named Dill. In time, Dills would come to own most of the parish of Devonshire, just under two square miles, one tenth of the island. These days, the island is a haven for tourism and offshore banking. There is no income tax; houses sell regularly for $10 million. Listed in the phone book are more than one hundred Dills. Many of them are black or mulatto: the children of former slaves who took their owner's name upon emancipation.
The Peugeot crested the hill, pulled down and around the circular driveway. It came to a stop at the front portico of the precious pink building that serves as the main house of the resort, referred to hereabouts as a "cottage colony"--a full-service hotel and spa spread over fourteen acres of beachfront that was once a cedar forest. In 1954, after a cedar blight and a hurricane devastated the forest, the land was cleared and Ariel Sands was built by Sir Bayard Dill, a prominent lawyer. He named his place for the sprite in The Tempest, which Shakespeare is said to have based on a shipwreck off Bermuda.
The manager and the bellman tumbled out through the double doors, followed closely by a number of other employees, all of whom just happened to have been engaged in pressing duties in the vicinity of the lobby. The driver's door (the right side) of the Peugeot opened. Out stepped the latest in a long line of wealthy and powerful Dills, this one certainly the most universally known, the nephew of Sir Bayard Dill, the son of Diana Dill Douglas Darrid. . .?.
Rising to his full height, Michael Douglas appeared handsome and self-assured, almost royally erect, every inch the characters he has played over the years--the president, the master of the universe, the drug czar. His hair was thick. His clothes were remarkably crisp despite the heat and humidity. His chin was unmistakable, held high like a ship's prow, the same dimpled chin as his father's. During their youth, Michael and his brother summered at Ariel Sands. Now Michael is the majority shareholder. He also owns a 180-year-old estate nearby, the renovation of which is ongoing. Pictures of him with celebrity friends--Jack Nicholson, Glenn Close, Danny DeVito--adorn the piano bar.
The bellman opened the passenger door of the Peugeot. A hand emerged. It was poised and graceful, with skin the color of alabaster. On the ring finger was a ten-carat diamond. The bellman hesitated a moment, transfixed. It was a gorgeous specimen, exceedingly large yet still tasteful, a horizontal marquise cut in a vintage platinum setting. It sparkled in the sunlight. At last, the bellman collected himself. He took hold of the hand. He tugged.
Grunting a bit with effort, Catherine Zeta-Jones emerged from the passenger seat. Zeta (pronounced Zeeta) is a name she shares with her eighty-seven-year-old grandmother, who herself was named for a three-masted bark to which her own father had taken a fancy. Despite the weather, she was dressed in slimming black. The blouse had kicky peekaboo slits cut into the sleeves. The slits brought to mind that scene in The Mask of Zorro in which Antonio Banderas undressed her so expertly with his épée. Unlike her character, Catherine was now quite obviously pregnant, about three months along with her second child. Her trademark mane of raven hair was pinned up haphazardly. She rested the hand with the diamond upon her swollen belly. She placed the other hand on her lower back, the way pregnant women do.
"Hello!" I called. I was ten feet behind the car, on her side, maintaining what seemed like a respectful distance. Catherine pivoted and looked me over warily. She cut her eyes to Michael. He looked me over, too. As did the manager. "I'm from the magazine," I said, issuing a fey little wave.
Everyone smiled now, and Catherine minced toward me, parting the waters of the small sea of employees who'd gathered around to gawk. Her sculpted lips formed a welcoming smile. Her hazel eyes--the eyes of a baby doll, the kind that close when you lay it down to sleep--twinkled beautifully. She offered her right hand, the one without the ring. "It is a pleasure to meet you," she said. Her voice was musical in the way of the Welsh.
Twenty feet away, on the other side of the car, Michael rocked back on his heels, put his hands on his hips like you see him do in the movies. He cocked his head to the side, and then he pointed at me. It was a royal sort of gesture, one finger, aimed. "Be nice to my girl," he commanded.
Having Finished Our Lunch--seafood burgers and crispy french fries--Catherine and I settled into a pair of whitewashed chairs on the porch of a pink stucco cottage on the crest of the hill. The sun was bright; the air was redolent of salt and earth and flowers. Tree frogs sang in the underbrush.
Every morning for months, I had awakened to her face in large newspaper ads for a telecom company; in the evenings came the ads on TV. The American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgery--citing her "short delicate jaw with small chin and nose" and her "lavish lips, well-developed cheekbones and prominent eyes"--had named her its "ideal face of femininity." Her new film, Chicago--an adaptation of the Bob Fosse musical--was about to open, and it was already being touted by Miramax as an Oscar contender. Yet she was virtually unknown in America before the release of Zorro in 1998. It was as if she had appeared suddenly, like Venus herself, fully formed as a superstar.
"Lots of people think you won the lottery," I heard myself say. "It's like you married into Hollywood royalty."
She looked at me blandly. She sighed. "People think I came over on the boat with Zorro."
"I Started Dance Lessons at Age Four," she began, taking the clip out of her hair, regathering it. Her skin glowed. According to one report, she rubs a mixture of honey and salt all over her body to moisturize and exfoliate. "I was always singing and dancing and performing. Obviously, it was a show-off thing. I was a bit of a clown. I liked to make my dad laugh. I was Little Miss Showbiz, you know? Anything to get a laugh or a bit of attention.
"School would end, and I'd come home, do my homework, eat something, go to dance class, go to rehearsals. But it never felt like a chore. I loved it. I always wanted more. It's like somebody who's a great swimmer, I think. I just knew that I was good at this and that's what I wanted to do. My parents weren't stage parents. I didn't need someone to put me in a pretty dress and stand in the wings and tell me, 'Okay, baby, go out there and smile.' I knew on my own that I had to smile. When I was eleven, I won the British national tap-dance championship.
"The first time I got paid, I did Annie in the West End. It was four hours by train from Mumbles, the little fishing village where I grew up in South Wales. It was grand--the Victoria Palace Theatre, and me living in a flat with all the other kids and two chaperones. I grew up pretty quick--twelve going on twenty-two. It was bound to happen. I had responsibilities, you know? I had to do my schooling. I had to turn up at the theater on time and remember my lines. Eight shows a week. We were all the same blinkin' one-track-mind kids, all of us dreaming about being stars someday. We were the country's best child performers. And, boy, did we know it! We were like Gene Kelly, you know?"
And here she spread her arms theatrically and lifted her chin and sang: "Got-ta daaaaaaaance!"
The sound was surprisingly rich and full, belted out from the gut, just this side of Ethel Merman. I may have been visibly shaken. She looked at me and smirked, as if to say, Take that.
"My first big break came when I was in 42nd Street. I was fifteen. I had quit school. You can only be a child actress for so long. I went from being the lead to literally queuing up like a cattle market to get an audition for the chorus. But I was very focused. Performing was my life. I was very athletic, dancerlike, skinny. I had really big hair--a bit of the ol' Farrah Fawcett going on, I'm afraid. I was living with a single mom who had been one of my tutors. For somebody who had been away from home for so long, there was still something very innocent about me. I wasn't chasing boys. I wasn't aware of attraction or seduction or anything like that. In my mind, I was still this kid chasing her dreams. I was a hoofer, a chorus girl. And I was the second understudy to the lead."
She paused a moment and looked out toward the horizon. The wind had kicked up. The ocean was frothy with whitecaps.
"One night," she continued, "the lead girl hurt her knee. The first understudy was on holiday in Gambia with her boyfriend, on the west coast of Africa. They came to me in the afternoon and said I was going on that night. I was like"--and here she sang out again--"This is my mo-mennnnnnt!
"It was like my life was the musical and this was my big scene. As it turned out, David Merrick, the producer, was in the audience that night. He liked me. He gave me the lead."
I looked at her and she shrugged.
"It sounds like I made it up, I know, but it's true. I played Peggy Sawyer for three years, eight shows a week. By the time I turned nineteen, I was ready to hang up my dance shoes."
The Waiter Came And Got The Dishes. He was very happy to see her. Last Christmas, Michael and Catherine arranged for his parents to sit front center at The Lion King on Broadway. He poured her a glass of warm bubbly water. Clouds began to gather in the middle distance; by nightfall there would be showers. Catherine elevated her feet. Her ankle boots were a shimmery purple-black, pointy-toed with fun little heels. She unzipped them.
"The Darling Buds of May was one of the most successful British TV shows of all time," she said. "The nation just went nuts for it. It started its run right after the Gulf war, and I think it was just a breath of fresh air for the country. It was set in the fifties; it had a nostalgia to it. It was basically a show about a larger-than-life family who didn't pay taxes, who drink and eat and have sex. I was Mariette Larkin, the eldest daughter of six kids. She was this man fantasy: big bra, big boobs, 1950s dresses, and jodhpurs. Me strutting around in jodhpurs and high boots--you can imagine. But it was very innocent and charming at the same time. And everyone always said that everything was 'perfick.' That was the punch line of the show, perfick. It fairly well got to the point after three years where, if one more person yelled out 'Perfick!' to me on the street, I'd have beat 'em to a pulp.
"I was very popular with the tabloids. Hunted would be a good term. I felt hunted. Everywhere I went, there were paparazzi jumping out of the bushes. One time they rigged video cameras outside my front door. Not long before Princess Diana was killed, the paparazzi were chasing me on motorbikes, and I wrapped my little Mazda Miata around a lamppost. I could go on and on about the British press. I'll just leave it at that."
"And then," I interrupted, "there were those well-publicized affairs with--"
"Oh, look!" She clasped her hands before her in delight. "There's my baby!" she said, chirping like a motherbird.
"There's my little boy with his nanny!"
Toddling up the hill was Dylan, age two. He is blond, with that unmistakable dimple in his chin. The nanny is a young African-American woman. She has the sunny, intelligent vibe of an underemployed college graduate working for a movie star.
Catherine swept the boy up into her lap. "You gonna come gimme a snuggle buggle?" She covered him with kisses, one hand planted firmly on his bum. "Did you have lunch?"
"I eat," Dylan said.
"Is Dada down dere?"
"Dada!"
"Who'd you have lunch with?"
"A lady."
Catherine looked at the nanny, mock serious. "His father's with a lady?" She turned back to Dylan. Her brow wrinkled. "Which lady?" she asked.
Dylan studied her a moment. He wrinkled his own brow. "Man," he said.
"A man?"
"A man that eats!" Dylan trilled. And then he threw back his head and giggled and clapped his hands, thoroughly taken with himself.
"People would ask, 'What have I seen you in?'?" Catherine was saying, talking about her early years in Hollywood. "And I would say, 'Well, I did this little show on the telly in Britain.' My plan was to take things easy and pick the right roles. I had a little money; I didn't have to work right away. Then I got the chance to do the TV version of Titanic. Goddamn Kate Winslet had the movie! But I figured I could use the experience.
"The night Titanic played on the telly, Steven Spielberg was at home, flipping through the channels. The next thing I knew I was in Mexico City, screen-testing for Zorro. Michael likes to say that Spielberg is the David Merrick of his time, so there's a nice little balance there, I guess.
"The first time I met Michael was at the Deauville Film Festival, in the fall of 1998. Zorro had been released that summer. He had seen it at a private screening; his mother and his father were with him. He says he fell in love with me the first time he saw me onscreen. The first time I saw him was in the hotel lobby in Deauville. He walked right past me, carrying his golf clubs.
"That night, at a dinner, they put us at the same table. We found out we had the same birthday, September 25. That was hilarious; it started things off. And then for a long time nobody really knew anything about us, until we were at his house in Spain. It's a beautiful place in Majorca, very remote. And yet they still find access, the paparazzi, even if they have to rappel down the goddamn mountain. They photographed me and Michael kissing. It was all over the newsstands. And, yes, I was topless and on top of him!"
I closed my eyes chastely and made a show of waving off the image.
She continued unprompted: "When my father and Michael first met, he said to Michael, 'What were you doing with my daughter in Spain and she's topless?' And Michael said to my dad, 'Well, you know, David, I'm just glad she was on top, since gravity works better for her than it does me!'?" She laughed out loud. Her hazel eyes danced. "They've got on tremendously ever since!"
We strolled together down the hill, over the soft Bermuda grass. Michael was at the poolside bar, sitting at a table with the hotel manager, drinking espresso and a shot of black rum, smoking a large cigar. Dylan was playing in the sand with his nanny and with Michael's other son, Cameron, twenty-four, wiry and shaggy-haired, with dark-framed glasses and tattoos. When Cameron's mother was asked for her reaction to Michael's engagement to Catherine, twenty-five years his junior, she told The Times of London, "Before Michael can marry, he has to divorce me--or become a Muslim so he can have two wives." News reports estimated the divorce settlement at between $50 and $100 million.
Now, with the late-afternoon sun glowing orange behind a cloud, Catherine sat slumped and splay-legged at a weathered teak table, both hands resting upon her belly, a flute of expensive champagne bubbling before her. She stared out contentedly into the middle distance. Just recently she signed a seven-figure contract to be the face of Elizabeth Arden. Chicago will soon be in theaters, a showcase for all her years of musical training. Intolerable Cruelty, with George Clooney, is due next. Not to mention the impending birth.
Sitting there next to her, I thought of something she'd said earlier, in response to something I'd asked. It was corny, I know, but I had to ask her: "Do you ever feel like Cinderella?" She looked at me straightaway, didn't stumble over her words.
"Yes," she said, "there is a Cinderella aspect to my life, but I swept a lot of cinders, too. When other girls my age were playing with dolls, I was worrying about what the local critics were going to write in newspapers about me. When other girls my age wanted to get laid or get drunk or stand on street corners and smoke cigarettes, I was thinking that I need to get to the theater on time for the matinee. It was just a constant thing, but I was doing what I wanted to do. I don't know where this drive of mine came from.
"Me and Michael, we sometimes sing to each other. We find ourselves in these moments, you know? Something's happening and we just look at each other, and it's just, like, pinch me, can you believe this?"
And then she began to sing again, raising her hands in the air like a West End hoofer selling the grand finale, the big number, singing her heart out, like her life was the musical and this was her big scene:
"If they could see me now!"
See more Woman We Love at: http://www.esquire.com/
Here’s this the articles you needed to know about Catherine Zeta-Jones from Mike Sager, Esquire Magazine.
Catherine Zeta-Jones has three names, two long legs, one big voice, and a world at her feet. And she was a star long before she was anything else.
Black Peugeot With Tinted Windows purred along a narrow, winding road on the south shore of Bermuda, following impatiently behind a trio of puttering minivan taxis and a shiny red motor scooter--an impromptu convoy rolling at a stately twenty-five miles per hour past old stone walls, gracefully curved palm trees, and pastel-colored houses.
Turning right into a private drive, the Peugeot gunned up a steep incline onto the manicured grounds of the Ariel Sands resort. The first British subject washed up on the shores of this island nearly four hundred years ago, the victim of a shipwreck. Settlers began arriving in 1612; among the earliest was a man from Northern Ireland named Dill. In time, Dills would come to own most of the parish of Devonshire, just under two square miles, one tenth of the island. These days, the island is a haven for tourism and offshore banking. There is no income tax; houses sell regularly for $10 million. Listed in the phone book are more than one hundred Dills. Many of them are black or mulatto: the children of former slaves who took their owner's name upon emancipation.
The Peugeot crested the hill, pulled down and around the circular driveway. It came to a stop at the front portico of the precious pink building that serves as the main house of the resort, referred to hereabouts as a "cottage colony"--a full-service hotel and spa spread over fourteen acres of beachfront that was once a cedar forest. In 1954, after a cedar blight and a hurricane devastated the forest, the land was cleared and Ariel Sands was built by Sir Bayard Dill, a prominent lawyer. He named his place for the sprite in The Tempest, which Shakespeare is said to have based on a shipwreck off Bermuda.
The manager and the bellman tumbled out through the double doors, followed closely by a number of other employees, all of whom just happened to have been engaged in pressing duties in the vicinity of the lobby. The driver's door (the right side) of the Peugeot opened. Out stepped the latest in a long line of wealthy and powerful Dills, this one certainly the most universally known, the nephew of Sir Bayard Dill, the son of Diana Dill Douglas Darrid. . .?.
Rising to his full height, Michael Douglas appeared handsome and self-assured, almost royally erect, every inch the characters he has played over the years--the president, the master of the universe, the drug czar. His hair was thick. His clothes were remarkably crisp despite the heat and humidity. His chin was unmistakable, held high like a ship's prow, the same dimpled chin as his father's. During their youth, Michael and his brother summered at Ariel Sands. Now Michael is the majority shareholder. He also owns a 180-year-old estate nearby, the renovation of which is ongoing. Pictures of him with celebrity friends--Jack Nicholson, Glenn Close, Danny DeVito--adorn the piano bar.
The bellman opened the passenger door of the Peugeot. A hand emerged. It was poised and graceful, with skin the color of alabaster. On the ring finger was a ten-carat diamond. The bellman hesitated a moment, transfixed. It was a gorgeous specimen, exceedingly large yet still tasteful, a horizontal marquise cut in a vintage platinum setting. It sparkled in the sunlight. At last, the bellman collected himself. He took hold of the hand. He tugged.
Grunting a bit with effort, Catherine Zeta-Jones emerged from the passenger seat. Zeta (pronounced Zeeta) is a name she shares with her eighty-seven-year-old grandmother, who herself was named for a three-masted bark to which her own father had taken a fancy. Despite the weather, she was dressed in slimming black. The blouse had kicky peekaboo slits cut into the sleeves. The slits brought to mind that scene in The Mask of Zorro in which Antonio Banderas undressed her so expertly with his épée. Unlike her character, Catherine was now quite obviously pregnant, about three months along with her second child. Her trademark mane of raven hair was pinned up haphazardly. She rested the hand with the diamond upon her swollen belly. She placed the other hand on her lower back, the way pregnant women do.
"Hello!" I called. I was ten feet behind the car, on her side, maintaining what seemed like a respectful distance. Catherine pivoted and looked me over warily. She cut her eyes to Michael. He looked me over, too. As did the manager. "I'm from the magazine," I said, issuing a fey little wave.
Everyone smiled now, and Catherine minced toward me, parting the waters of the small sea of employees who'd gathered around to gawk. Her sculpted lips formed a welcoming smile. Her hazel eyes--the eyes of a baby doll, the kind that close when you lay it down to sleep--twinkled beautifully. She offered her right hand, the one without the ring. "It is a pleasure to meet you," she said. Her voice was musical in the way of the Welsh.
Twenty feet away, on the other side of the car, Michael rocked back on his heels, put his hands on his hips like you see him do in the movies. He cocked his head to the side, and then he pointed at me. It was a royal sort of gesture, one finger, aimed. "Be nice to my girl," he commanded.
Having Finished Our Lunch--seafood burgers and crispy french fries--Catherine and I settled into a pair of whitewashed chairs on the porch of a pink stucco cottage on the crest of the hill. The sun was bright; the air was redolent of salt and earth and flowers. Tree frogs sang in the underbrush.
Every morning for months, I had awakened to her face in large newspaper ads for a telecom company; in the evenings came the ads on TV. The American Academy of Facial Plastic and Reconstructive Surgery--citing her "short delicate jaw with small chin and nose" and her "lavish lips, well-developed cheekbones and prominent eyes"--had named her its "ideal face of femininity." Her new film, Chicago--an adaptation of the Bob Fosse musical--was about to open, and it was already being touted by Miramax as an Oscar contender. Yet she was virtually unknown in America before the release of Zorro in 1998. It was as if she had appeared suddenly, like Venus herself, fully formed as a superstar.
"Lots of people think you won the lottery," I heard myself say. "It's like you married into Hollywood royalty."
She looked at me blandly. She sighed. "People think I came over on the boat with Zorro."
"I Started Dance Lessons at Age Four," she began, taking the clip out of her hair, regathering it. Her skin glowed. According to one report, she rubs a mixture of honey and salt all over her body to moisturize and exfoliate. "I was always singing and dancing and performing. Obviously, it was a show-off thing. I was a bit of a clown. I liked to make my dad laugh. I was Little Miss Showbiz, you know? Anything to get a laugh or a bit of attention.
"School would end, and I'd come home, do my homework, eat something, go to dance class, go to rehearsals. But it never felt like a chore. I loved it. I always wanted more. It's like somebody who's a great swimmer, I think. I just knew that I was good at this and that's what I wanted to do. My parents weren't stage parents. I didn't need someone to put me in a pretty dress and stand in the wings and tell me, 'Okay, baby, go out there and smile.' I knew on my own that I had to smile. When I was eleven, I won the British national tap-dance championship.
"The first time I got paid, I did Annie in the West End. It was four hours by train from Mumbles, the little fishing village where I grew up in South Wales. It was grand--the Victoria Palace Theatre, and me living in a flat with all the other kids and two chaperones. I grew up pretty quick--twelve going on twenty-two. It was bound to happen. I had responsibilities, you know? I had to do my schooling. I had to turn up at the theater on time and remember my lines. Eight shows a week. We were all the same blinkin' one-track-mind kids, all of us dreaming about being stars someday. We were the country's best child performers. And, boy, did we know it! We were like Gene Kelly, you know?"
And here she spread her arms theatrically and lifted her chin and sang: "Got-ta daaaaaaaance!"
The sound was surprisingly rich and full, belted out from the gut, just this side of Ethel Merman. I may have been visibly shaken. She looked at me and smirked, as if to say, Take that.
"My first big break came when I was in 42nd Street. I was fifteen. I had quit school. You can only be a child actress for so long. I went from being the lead to literally queuing up like a cattle market to get an audition for the chorus. But I was very focused. Performing was my life. I was very athletic, dancerlike, skinny. I had really big hair--a bit of the ol' Farrah Fawcett going on, I'm afraid. I was living with a single mom who had been one of my tutors. For somebody who had been away from home for so long, there was still something very innocent about me. I wasn't chasing boys. I wasn't aware of attraction or seduction or anything like that. In my mind, I was still this kid chasing her dreams. I was a hoofer, a chorus girl. And I was the second understudy to the lead."
She paused a moment and looked out toward the horizon. The wind had kicked up. The ocean was frothy with whitecaps.
"One night," she continued, "the lead girl hurt her knee. The first understudy was on holiday in Gambia with her boyfriend, on the west coast of Africa. They came to me in the afternoon and said I was going on that night. I was like"--and here she sang out again--"This is my mo-mennnnnnt!
"It was like my life was the musical and this was my big scene. As it turned out, David Merrick, the producer, was in the audience that night. He liked me. He gave me the lead."
I looked at her and she shrugged.
"It sounds like I made it up, I know, but it's true. I played Peggy Sawyer for three years, eight shows a week. By the time I turned nineteen, I was ready to hang up my dance shoes."
The Waiter Came And Got The Dishes. He was very happy to see her. Last Christmas, Michael and Catherine arranged for his parents to sit front center at The Lion King on Broadway. He poured her a glass of warm bubbly water. Clouds began to gather in the middle distance; by nightfall there would be showers. Catherine elevated her feet. Her ankle boots were a shimmery purple-black, pointy-toed with fun little heels. She unzipped them.
"The Darling Buds of May was one of the most successful British TV shows of all time," she said. "The nation just went nuts for it. It started its run right after the Gulf war, and I think it was just a breath of fresh air for the country. It was set in the fifties; it had a nostalgia to it. It was basically a show about a larger-than-life family who didn't pay taxes, who drink and eat and have sex. I was Mariette Larkin, the eldest daughter of six kids. She was this man fantasy: big bra, big boobs, 1950s dresses, and jodhpurs. Me strutting around in jodhpurs and high boots--you can imagine. But it was very innocent and charming at the same time. And everyone always said that everything was 'perfick.' That was the punch line of the show, perfick. It fairly well got to the point after three years where, if one more person yelled out 'Perfick!' to me on the street, I'd have beat 'em to a pulp.
"I was very popular with the tabloids. Hunted would be a good term. I felt hunted. Everywhere I went, there were paparazzi jumping out of the bushes. One time they rigged video cameras outside my front door. Not long before Princess Diana was killed, the paparazzi were chasing me on motorbikes, and I wrapped my little Mazda Miata around a lamppost. I could go on and on about the British press. I'll just leave it at that."
"And then," I interrupted, "there were those well-publicized affairs with--"
"Oh, look!" She clasped her hands before her in delight. "There's my baby!" she said, chirping like a motherbird.
"There's my little boy with his nanny!"
Toddling up the hill was Dylan, age two. He is blond, with that unmistakable dimple in his chin. The nanny is a young African-American woman. She has the sunny, intelligent vibe of an underemployed college graduate working for a movie star.
Catherine swept the boy up into her lap. "You gonna come gimme a snuggle buggle?" She covered him with kisses, one hand planted firmly on his bum. "Did you have lunch?"
"I eat," Dylan said.
"Is Dada down dere?"
"Dada!"
"Who'd you have lunch with?"
"A lady."
Catherine looked at the nanny, mock serious. "His father's with a lady?" She turned back to Dylan. Her brow wrinkled. "Which lady?" she asked.
Dylan studied her a moment. He wrinkled his own brow. "Man," he said.
"A man?"
"A man that eats!" Dylan trilled. And then he threw back his head and giggled and clapped his hands, thoroughly taken with himself.
"People would ask, 'What have I seen you in?'?" Catherine was saying, talking about her early years in Hollywood. "And I would say, 'Well, I did this little show on the telly in Britain.' My plan was to take things easy and pick the right roles. I had a little money; I didn't have to work right away. Then I got the chance to do the TV version of Titanic. Goddamn Kate Winslet had the movie! But I figured I could use the experience.
"The night Titanic played on the telly, Steven Spielberg was at home, flipping through the channels. The next thing I knew I was in Mexico City, screen-testing for Zorro. Michael likes to say that Spielberg is the David Merrick of his time, so there's a nice little balance there, I guess.
"The first time I met Michael was at the Deauville Film Festival, in the fall of 1998. Zorro had been released that summer. He had seen it at a private screening; his mother and his father were with him. He says he fell in love with me the first time he saw me onscreen. The first time I saw him was in the hotel lobby in Deauville. He walked right past me, carrying his golf clubs.
"That night, at a dinner, they put us at the same table. We found out we had the same birthday, September 25. That was hilarious; it started things off. And then for a long time nobody really knew anything about us, until we were at his house in Spain. It's a beautiful place in Majorca, very remote. And yet they still find access, the paparazzi, even if they have to rappel down the goddamn mountain. They photographed me and Michael kissing. It was all over the newsstands. And, yes, I was topless and on top of him!"
I closed my eyes chastely and made a show of waving off the image.
She continued unprompted: "When my father and Michael first met, he said to Michael, 'What were you doing with my daughter in Spain and she's topless?' And Michael said to my dad, 'Well, you know, David, I'm just glad she was on top, since gravity works better for her than it does me!'?" She laughed out loud. Her hazel eyes danced. "They've got on tremendously ever since!"
We strolled together down the hill, over the soft Bermuda grass. Michael was at the poolside bar, sitting at a table with the hotel manager, drinking espresso and a shot of black rum, smoking a large cigar. Dylan was playing in the sand with his nanny and with Michael's other son, Cameron, twenty-four, wiry and shaggy-haired, with dark-framed glasses and tattoos. When Cameron's mother was asked for her reaction to Michael's engagement to Catherine, twenty-five years his junior, she told The Times of London, "Before Michael can marry, he has to divorce me--or become a Muslim so he can have two wives." News reports estimated the divorce settlement at between $50 and $100 million.
Now, with the late-afternoon sun glowing orange behind a cloud, Catherine sat slumped and splay-legged at a weathered teak table, both hands resting upon her belly, a flute of expensive champagne bubbling before her. She stared out contentedly into the middle distance. Just recently she signed a seven-figure contract to be the face of Elizabeth Arden. Chicago will soon be in theaters, a showcase for all her years of musical training. Intolerable Cruelty, with George Clooney, is due next. Not to mention the impending birth.
Sitting there next to her, I thought of something she'd said earlier, in response to something I'd asked. It was corny, I know, but I had to ask her: "Do you ever feel like Cinderella?" She looked at me straightaway, didn't stumble over her words.
"Yes," she said, "there is a Cinderella aspect to my life, but I swept a lot of cinders, too. When other girls my age were playing with dolls, I was worrying about what the local critics were going to write in newspapers about me. When other girls my age wanted to get laid or get drunk or stand on street corners and smoke cigarettes, I was thinking that I need to get to the theater on time for the matinee. It was just a constant thing, but I was doing what I wanted to do. I don't know where this drive of mine came from.
"Me and Michael, we sometimes sing to each other. We find ourselves in these moments, you know? Something's happening and we just look at each other, and it's just, like, pinch me, can you believe this?"
And then she began to sing again, raising her hands in the air like a West End hoofer selling the grand finale, the big number, singing her heart out, like her life was the musical and this was her big scene:
"If they could see me now!"
See more Woman We Love at: http://www.esquire.com/
Sunday, 4 November 2007
Situ Gunung, Hadiah Mbah Jalun
Pemandangannya Indah dan Hutannya Alami
SUKABUMI memiliki banyak objek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Mulai dari pantai hingga pegunungan. Palabuhanratu, salah satu objek yang boleh dikatakan tak asing lagi bagi wisatawan domestik maupun luar negeri. Namun, masih banyak pilihan lain yang lebih menarik bahkan menantang, terutama bagi kawula muda. Salah satu objek wisata yang tak kalah banyak dikunjungi wisatawan adalah Situ Gunung.
Situs wisata Situ Gunung berada di Desa Gedepangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Lokasinya hanya berjarak sekitar 15 km dari Kota Sukabumi. Situ Gunung memiliki daya tarik yang khas selain keasrian dan kealamian ekosistem alamnya. Pemandangan hutan yang menghijau dan kesejukan udaranya menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung. Di sana terdapat danau legenda yang dinamakan Situ Gunung serta air terjun alami yang dikenal dengan nama Curug Sawer dan Curug Cimanaracun.
Selain merupakan wisata alam, Situ Gunung juga memiliki potensi wisata budaya. Ada legenda yang cukup menarik untuk diketahui, yaitu legenda danau buatan Situ Gunung.
Konon, dari keterangan Ibu Iece Mariati (nama Belandanya Helma Victoar), putri Dr. Max Bartels (pengelola pertama kawasan Situ Gunung), danau Situ Gunung bukanlah danau alami. Pada akhir abad 18 adalah Rangga Jagad Syahdana, lebih dikenal dengan nama Mbah Jalun, seorang buronan pemerintah Kolonial Belanda. Mbah Jalun dianggap penentang pemerintah kolonial di tanah Jawa.Ia dicari oleh pemerintah kolonial dari daerah Jawa Tengah, karena Mbah Jalun merupakan keturunan raja-raja Mataram.
Mbah Jalun lari dari Jawa Tengah menuju ke barat hingga sampailah ke daerah Gunung Gede Pangrango, Sukabumi sekitar tahun 1811. Untuk menghindari pengejaran pemerintah kolonial, Mbah Jalun menembus hutan rimba di Gunung Gede Pangrango. Rencananya ia hendak melarikan diri ke daerah Banten. Di dalam persembunyiannya, Mbah Jalun beserta keluarga dan pengikutnya bersembunyi di kaki Gunung Masigit. Dalam pelariannya, Mbah Jalun menikahi seorang wanita dari daerah Kuningan, Jawa Barat.
Pada 1914 lahirlah putra Mbah Jalun yang diberi nama Rangga Jaka Lulunta yang artinya seorang anak laki-laki yang lahir dalam perjalanan. Nama putra pertamanya itu merupakan simbol Mbah Jalun yang terus melakukan perjalanan guna menghindari penangkapan pemerintah kolonial.
Mbah Jalun begitu sayang kepada Rangga sehingga ia ingin memberikan hadiah kepada putra pertamanya itu. Ketika istrinya pergi ke Desa Pasir Tugu, Mbah Jalun menggali tanah di kaki Gunung Masigit. Dengan kekuatan supranatural yang dimiliki, dalam waktu 7 hari 6 malam Mbah Jalun terus menggali hingga terbentuklah sebuah danau yang kemudian dinamakan Situ Gunung. Danau tersebut dialiri air dari Curug Cimanaracun.
Danau Situ Gunung kemudian menjadi tempat rekreasi keluarga Mbah Jalun beserta pengikutnya. Menurut keterangan Dadi Sunardi, warga Pasir Tugu yang bekerja sebagai staf pengelola kawasan wisata Situ Gunung, Mbah Jalun pernah berwasiat kepada keluarga dan pengikutnya, agar danau yang dibuatnya dijadikan tempat rekreasi untuk anak cucunya.
Tahun 1840 pemerintah kolonial mengetahui keberadaan danau Situ Gunung sekaligus mencium keberadaan Mbah Jalun. Setelah Mbah Jalun ditangkap dan akan dihukum gantung di daerah Cisaat (kini bangunan itu menjadi Kantor Polsek Cisaat), kawasan Situ Gunung diambil alih oleh pemerintah Kolonial untuk dijadikan tempat rekreasi noni-noni Belanda waktu itu.
Namun Mbah Jalun dapat meloloskan diri dari penjara pemerintah kolonial. Konon, Mbah Jalun meninggal di daerah Bogor namun tempat peristirahatan terakhirnya dirahasiakan. Mbah Jalun wafat dalam usia 71 tahun karena sakit. Pengelola pertama kawasan wisata alam Situ Gunung adalah M.E.G. Bartels pada tahun 1930-1942. Pada waktu itu ia menyamar jadi ahli perhutanan, padahal ia adalah seorang ahli Biologi dari Jerman. Bartels jugalah yang menemukan spesies burung Elang Jawa (Spizaitus bartelsi) untuk kali pertama. Waktu itu ia menjabat sebagai Kepala Administrateur Perhutanan dan tinggal di Desa Pasir Datar.
**
KAWASAN wisata alam Situ Gunung memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang dilindungi oleh Taman Nasional Balai Besar wilayah Sukabumi. Kekayaan flora di kawasan Situ Gunung antara lain pohon saninten, damar, rasamala, dan puspa yang menjadi flora kategori produktif. Sedangkan jenis fauna yang ada di sana antara lain menjangan, habi hutan, elang jawa, monyet/owa, dan lain-lain.
Kawasan ini dapat menjadi alternatif wisata bagi remaja dan keluarga. Selain mudah diakses, bagi wisatawan yang ingin lebih lama menikmati panorama alam di utara Sukabumi dapat memilih penginapan atau vila yang tersebar di sekitar kawasan wisata Situ Gunung dan kawasan wisata Cinumpang.
Bahkan bisa juga menginap di wisma Situ Gunung yang harganya relatif ringan. Wisma Situ Gunung berada di utara danau Situ Gunung, berjarak 500 meter dari danau. Suasana terasa begitu asri dengan pohon-pohon damar yang ada di sekelilingnya.
Pagi harinya, wisatawan dapat melihat keindahan Situ Gunung dengan duduk di bale-bale depan wisma yang menghadap ke danau. Wisatawan akan merasakan kenyamanan berwisata ala noni-noni Belanda pada akhir abad 18 di Indonesia.
Wisatawan Situ Gunung juga dapat menikmati kesejukan hutan produktif yang mengelilingi danau dengan berjalan kaki di Jogging Track. Pengunjung juga dapat menyewa rakit (perahu dari susunan bambu) atau perahu kanu dengan harga relatif murah. Pesona danau yang asri dikelilingi pepohonan besar, dahan yang merambat bak rambut tebal bisa dilihat dari tengah danau. Suasana romatis nan damai dapat dirasakan saat mengelilingi danau.
Istirahat sejenak di pinggir danau sambil menikmati kesejukan udara dan keindahan Situ Gunung juga bukan pilihan yang salah. Makan siang bersama kerabat, keluarga atau pasangan banyak dilakukan wisatawan di pinggir danau. Suasana akrab dan santai memang tujuan wisatawan dengan berkumpul sambil berbincang-bincang di sana. Masyarakat yang sering berkunjung ke danau ini menyebutnya botram, atau piknik. Artinya, makan bersama keluarga dengan menu khas Sunda dengan duduk di atas rumput beralaskan tikar.
Masyarakat di sekitar kawasan wisata banyak yang memanfaatkan waktu luang mereka dengan memancing di Situ Gunung. Berbagai jenis ikan dapat dipancing secara gratis, antara lain bawal hitam, ikan mas dan ikan lainnya dengan bobot rata-rata 2.000-1.5000 gram
Kawasan wisata Situ Gunung juga sering digunakan sebagai arena perkemahan bagi anak-anak muda yang hobi menjelajah hutan belantara. Wisatawan yang pernah berkunjung ke kawasan Situ Gunung biasanya akan datang lagi ke kawasan ini. Kebanyakan beralasan karena kawasan wisata alam Situ Gunung memberikan suasana alami. Keaslian alam di Situ Gunung diawasi oleh taman nasional sehingga sebagai sebuah ekosistem, Situ Gunung terpelihara dengan cukup baik. Itulah sebabnya kawasan wisata alam Situ Gunung tak banyak berubah dari tahun ke tahun. [Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 10 November 2007] (Argus Firmansah/penulis/wartawan lepas tinggal di Bandung)
Read More on
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/10/11pariwisata01.htm
SUKABUMI memiliki banyak objek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Mulai dari pantai hingga pegunungan. Palabuhanratu, salah satu objek yang boleh dikatakan tak asing lagi bagi wisatawan domestik maupun luar negeri. Namun, masih banyak pilihan lain yang lebih menarik bahkan menantang, terutama bagi kawula muda. Salah satu objek wisata yang tak kalah banyak dikunjungi wisatawan adalah Situ Gunung.
Situs wisata Situ Gunung berada di Desa Gedepangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Lokasinya hanya berjarak sekitar 15 km dari Kota Sukabumi. Situ Gunung memiliki daya tarik yang khas selain keasrian dan kealamian ekosistem alamnya. Pemandangan hutan yang menghijau dan kesejukan udaranya menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung. Di sana terdapat danau legenda yang dinamakan Situ Gunung serta air terjun alami yang dikenal dengan nama Curug Sawer dan Curug Cimanaracun.
Selain merupakan wisata alam, Situ Gunung juga memiliki potensi wisata budaya. Ada legenda yang cukup menarik untuk diketahui, yaitu legenda danau buatan Situ Gunung.
Konon, dari keterangan Ibu Iece Mariati (nama Belandanya Helma Victoar), putri Dr. Max Bartels (pengelola pertama kawasan Situ Gunung), danau Situ Gunung bukanlah danau alami. Pada akhir abad 18 adalah Rangga Jagad Syahdana, lebih dikenal dengan nama Mbah Jalun, seorang buronan pemerintah Kolonial Belanda. Mbah Jalun dianggap penentang pemerintah kolonial di tanah Jawa.Ia dicari oleh pemerintah kolonial dari daerah Jawa Tengah, karena Mbah Jalun merupakan keturunan raja-raja Mataram.
Mbah Jalun lari dari Jawa Tengah menuju ke barat hingga sampailah ke daerah Gunung Gede Pangrango, Sukabumi sekitar tahun 1811. Untuk menghindari pengejaran pemerintah kolonial, Mbah Jalun menembus hutan rimba di Gunung Gede Pangrango. Rencananya ia hendak melarikan diri ke daerah Banten. Di dalam persembunyiannya, Mbah Jalun beserta keluarga dan pengikutnya bersembunyi di kaki Gunung Masigit. Dalam pelariannya, Mbah Jalun menikahi seorang wanita dari daerah Kuningan, Jawa Barat.
Pada 1914 lahirlah putra Mbah Jalun yang diberi nama Rangga Jaka Lulunta yang artinya seorang anak laki-laki yang lahir dalam perjalanan. Nama putra pertamanya itu merupakan simbol Mbah Jalun yang terus melakukan perjalanan guna menghindari penangkapan pemerintah kolonial.
Mbah Jalun begitu sayang kepada Rangga sehingga ia ingin memberikan hadiah kepada putra pertamanya itu. Ketika istrinya pergi ke Desa Pasir Tugu, Mbah Jalun menggali tanah di kaki Gunung Masigit. Dengan kekuatan supranatural yang dimiliki, dalam waktu 7 hari 6 malam Mbah Jalun terus menggali hingga terbentuklah sebuah danau yang kemudian dinamakan Situ Gunung. Danau tersebut dialiri air dari Curug Cimanaracun.
Danau Situ Gunung kemudian menjadi tempat rekreasi keluarga Mbah Jalun beserta pengikutnya. Menurut keterangan Dadi Sunardi, warga Pasir Tugu yang bekerja sebagai staf pengelola kawasan wisata Situ Gunung, Mbah Jalun pernah berwasiat kepada keluarga dan pengikutnya, agar danau yang dibuatnya dijadikan tempat rekreasi untuk anak cucunya.
Tahun 1840 pemerintah kolonial mengetahui keberadaan danau Situ Gunung sekaligus mencium keberadaan Mbah Jalun. Setelah Mbah Jalun ditangkap dan akan dihukum gantung di daerah Cisaat (kini bangunan itu menjadi Kantor Polsek Cisaat), kawasan Situ Gunung diambil alih oleh pemerintah Kolonial untuk dijadikan tempat rekreasi noni-noni Belanda waktu itu.
Namun Mbah Jalun dapat meloloskan diri dari penjara pemerintah kolonial. Konon, Mbah Jalun meninggal di daerah Bogor namun tempat peristirahatan terakhirnya dirahasiakan. Mbah Jalun wafat dalam usia 71 tahun karena sakit. Pengelola pertama kawasan wisata alam Situ Gunung adalah M.E.G. Bartels pada tahun 1930-1942. Pada waktu itu ia menyamar jadi ahli perhutanan, padahal ia adalah seorang ahli Biologi dari Jerman. Bartels jugalah yang menemukan spesies burung Elang Jawa (Spizaitus bartelsi) untuk kali pertama. Waktu itu ia menjabat sebagai Kepala Administrateur Perhutanan dan tinggal di Desa Pasir Datar.
**
KAWASAN wisata alam Situ Gunung memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang dilindungi oleh Taman Nasional Balai Besar wilayah Sukabumi. Kekayaan flora di kawasan Situ Gunung antara lain pohon saninten, damar, rasamala, dan puspa yang menjadi flora kategori produktif. Sedangkan jenis fauna yang ada di sana antara lain menjangan, habi hutan, elang jawa, monyet/owa, dan lain-lain.
Kawasan ini dapat menjadi alternatif wisata bagi remaja dan keluarga. Selain mudah diakses, bagi wisatawan yang ingin lebih lama menikmati panorama alam di utara Sukabumi dapat memilih penginapan atau vila yang tersebar di sekitar kawasan wisata Situ Gunung dan kawasan wisata Cinumpang.
Bahkan bisa juga menginap di wisma Situ Gunung yang harganya relatif ringan. Wisma Situ Gunung berada di utara danau Situ Gunung, berjarak 500 meter dari danau. Suasana terasa begitu asri dengan pohon-pohon damar yang ada di sekelilingnya.
Pagi harinya, wisatawan dapat melihat keindahan Situ Gunung dengan duduk di bale-bale depan wisma yang menghadap ke danau. Wisatawan akan merasakan kenyamanan berwisata ala noni-noni Belanda pada akhir abad 18 di Indonesia.
Wisatawan Situ Gunung juga dapat menikmati kesejukan hutan produktif yang mengelilingi danau dengan berjalan kaki di Jogging Track. Pengunjung juga dapat menyewa rakit (perahu dari susunan bambu) atau perahu kanu dengan harga relatif murah. Pesona danau yang asri dikelilingi pepohonan besar, dahan yang merambat bak rambut tebal bisa dilihat dari tengah danau. Suasana romatis nan damai dapat dirasakan saat mengelilingi danau.
Istirahat sejenak di pinggir danau sambil menikmati kesejukan udara dan keindahan Situ Gunung juga bukan pilihan yang salah. Makan siang bersama kerabat, keluarga atau pasangan banyak dilakukan wisatawan di pinggir danau. Suasana akrab dan santai memang tujuan wisatawan dengan berkumpul sambil berbincang-bincang di sana. Masyarakat yang sering berkunjung ke danau ini menyebutnya botram, atau piknik. Artinya, makan bersama keluarga dengan menu khas Sunda dengan duduk di atas rumput beralaskan tikar.
Masyarakat di sekitar kawasan wisata banyak yang memanfaatkan waktu luang mereka dengan memancing di Situ Gunung. Berbagai jenis ikan dapat dipancing secara gratis, antara lain bawal hitam, ikan mas dan ikan lainnya dengan bobot rata-rata 2.000-1.5000 gram
Kawasan wisata Situ Gunung juga sering digunakan sebagai arena perkemahan bagi anak-anak muda yang hobi menjelajah hutan belantara. Wisatawan yang pernah berkunjung ke kawasan Situ Gunung biasanya akan datang lagi ke kawasan ini. Kebanyakan beralasan karena kawasan wisata alam Situ Gunung memberikan suasana alami. Keaslian alam di Situ Gunung diawasi oleh taman nasional sehingga sebagai sebuah ekosistem, Situ Gunung terpelihara dengan cukup baik. Itulah sebabnya kawasan wisata alam Situ Gunung tak banyak berubah dari tahun ke tahun. [Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 10 November 2007] (Argus Firmansah/penulis/wartawan lepas tinggal di Bandung)
Read More on
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/10/11pariwisata01.htm
Wednesday, 24 October 2007
Bragaweg; Aset Herittage Tourisme dan Terminal Pekerja Seks Kota Bandung
Kembangnya Kota Bandung di Malam Hari
Lapangan pekerjaan masih terbilang sempit di Bandung, padahal banyak masyarakat di Jawa Barat mengharapkan kota Bandung menjadi pilihan alternatif setelah Jakarta, khususnya bagi perempuan. Di masa sulit seperti ini banyak perempuan dibebani tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mencari nafkah. Akhirnya perempuan dihadapkan pada kenyataan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak, apalagi mereka mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat dasar saja.
“Banting stir!” itulah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan muda yang datang ke kota Bandung. Pelajar hingga mahasiswa pun banyak yang bekerja sambil mencari ilmu. Tentu saja ada yang bekerja secara layak dan banyak juga yang tidak layak – berperilaku asusila secara terselubung. Namun demikian mereka yang bekerja asusila dengan menjual diri tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Karena memang lapangan pekerjaan yang sempit bagi mereka yang memiliki keahlian terbatas. Maka pilihan terakhir pun diambilnya, pekerja seks komersil.
Saya melakukan riset panjang mengenai seks bebas di wilayah Bandung dan sekitarnya. Awalnya memang seks bebas karena pergaulan anak-anak muda jaman sekarang. Ada yang karena taruhan bersama kawan-kawan di lingkungan kampus atau tempat kost-nya, sehingga yang kalah taruhan harus “mencoba” tidur dengan laki-laki yang menjadi piala bergilirnya. Laki-laki macam ini tentu saja memanfaatkan kesempatan gratis untuk menikmati hubungan intim tanpa harus membayar. Dan yang lebih menguntungkan, adalah bahwa si perempuan itu bukan psk, tapi perempuan dengan rasa ingin tahu yang lebih terhadap pengalaman seks atau hubungan intim tanpa pengetahuan orang tua mereka.
Dari sanalah muncul fenomena dan kini sudah menjadi budaya, yaitu seks bebas. Komunitas anak muda menamakan mereka “Cewek Bispak”. Perempuan yang bisa diajak berhubungan intim atas dasar rasa saling suka atau coba-coba, dan tanpa ada komitmen atau perjanjian untuk membayar upah kepuasannya.
Beberapa komunitas kecil memang mempertahankan budaya seks bebas itu sebagai gaya hidup pergaulan di antara mereka. Sebagian besar lagi terjun ke dunia seks komersil, seperti yang dialami oleh, sebut saja Daini, seorang mahasiswi sebuah universitas terkemuka di Bandung dan Jatinangor, Sumedang. Ketika ditanya mengapa menjadi komersil? Jawabnya sederhana saja "Saya bukan pelacur kok. Saya dan teman-teman memang suka melakukan seks dengan cowok yang kami suka." Dan menurut Hendrik, 23 thn, warga Desa Jatiroke, Sumedang, "Tempat kost di kawasan Jatinangor, Sumedang, banyak digunakan untuk seks bebas mahasiswa dan mahasiswi di kawasan itu. Trik mereka adalah dengan menggandakan kunci kamar. Jadi, mereka tidak dicurigai masuk ke kamar perempuan atau laki-lakinya. Padahal di dalam kamar sudah menunggu pasangannya," papar Hendrik. Tempat kost sebagai sarana seks bebas sudah dianggap lazim, meski warga sekitar sudah mencela perilaku kalangan terpelajar di sana. Perilaku ini masih dianggap sulit karena pemilik kost kebanyakan warga Jakarta dan Bandung yang membebaskan tempat kostnya asalkan bisnis kost nya tatp berjalan. Sejumlah daerah malah dibiarkan karena unsur pemerintah setempat mendapat uang bising dari mahasiswa/mahasiswi yang sudah biasa berseks bebas di sana. Budaya ini berkembang dari semenjak kampus terbesar di kawasan Jatinangor memindahkan sejumlah fakultas dari Bandung ke Jatinangor.
Kota Bandung sudah menjadi kota metropilitan, layaknya Jakarta sekarang. Gaya hidup masyarakat pendatang, urban kota Bandung, turut membentuk budaya mirip kosmopolitan. Ciri khas kota metropolis adalah tumbuhnya berbagai komunitas metroseksual, seperti gay, lesbian, homo. Kota metropolis sudah menjadi target masyarakat miskin untuk mencari nafkah. Akan tetapi karena faktor pendidikan yang minim dan keahlian profesi yang minim menyebabkan sebagian masyarakat di kabupaten menjadi masyarakat urban di daerah metropolis. Bandung, dianggap lebih mudah terjangkau oleh masyarakat di Jawa Barat setelah DKI Jakarta. Tak heran banyak perempuan sengaja datang ke Bandung menjadi pekerja seks komersil (PSK).
Mengapa Bandung dibanjiri perempuan dari kota/kabupaten di Jawa Barat, datang ke Bandung sebagai pekerja seks komersil setelah gagal memperoleh pekerjaan yang layak? Rupanya menurut sejarah, kota Bandung sempat dinamai Bandung Excelcior (1856), The Sleeping Beauty (1884), De Bloem der Indische Bergsteden (1896), Parijs van Java (1920), The Garden of Allah (1921), Intellectuele Centrum van Indië (1921), Staatskundig Centrum van Indië (1923), Europe in de Tropen (1936) dan Kota Asia Afrika (1955). Daya tarik inilah yang memancing perempuan dari daerah pelosok untuk datang ke kota pariwisata terbesar di Jawa Barat ini.
Hal lain dapat dilihat pada sejarah keemasan kota Bandung pada tahun1920 - 1930, di mana Bandung menjadi tempat pelesir bagi wisatawan bangsa Eropa. Bandung menjadi salah satu tempat favorit orang Eropa, terutama Braga weg atau Jalan Braga. Jalan Braga juga sempat mendapat julukan De meest Eropeesche winkelstraat van Indie (Kompleks Pertokoan paling terkemuka di Hindia Belanda). Sekarang, Jalan Braga menjadi terminal para pekerja seks komersil memang tidak mengherankan. Karena sejak jaman kolonial jalan itu sudah menjadi arena pelesiran orang-orang Eropa. Dan hingga kini masih berlangsung dengan sedemikian rupa. Kawasan Braga sedang dibersihkan dari praktik pelacuran. Namun daerah lain masih tetap melakukan bisnis perempuan malam. Hanya saja mereka lebih rapi dan tertib sehingga tidak terlalu mencolok.
Kawasan Jalan Gardujati memiliki Saritem. Sebuah lokalisasi yang paling senior di antara tempat-tempat mangkal para PSK di kota Bandung. Lokalisasi Saritem yang ditutup beberapa bulan yang lalu sebenarnya merupakan agenda Walikota Bandung, Dada Rosada, yang ingin membuat kota Bandung menjadi kota bermartabat dan religius di masa yang akan datang. Akan tetapi pangkalan liar PSK di Bandung tidak mampu ditertibkan dengan tuntas.
Pangkalan pekerja seks komersil nyatanya tersebar di kota Bandung. Sebut saja Ir. H. Djuanda (Dago), Jalan Dr. Setiabudi, Jalan Inggit Garnasih (Ciateul), Jalan Rd. Dewi Sartika, Jalan Moch. Toha, Jalan Jalan Cikapundung, Jalan Oto Iskandardinata (kawasan Pasar Baru), Jalan ABC, Jalan Alkateri, Jalan Braga, Jalan Suniaraja, Jalan Viaduct, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Lembong, Jalan Asia Afrika, Jalan Jenderal Sudirman. Jalan-jalan dengan nama pahlawan nasional itulah yang menjadi pangkalan pekerja seks komersil secara liar.
Lokalisasi yang terselubung atau tempat mangkal PSK secara liar melebihi jumlah PSK yang terorganisir di Saritem. Ini dapat dilihat pada pemandangan kota Bandung di malam hari. Meski Perda Kota Bandung tentang pelarangan lokalisasi pelacuran dikeluarkan, hanya tempat mangkal PSK mencolok saja yang ditertibkan. Malahan kawasan pekerja seks di Jalan Sudirman memiliki jaringan dengan pekerja seks di Jalan Braga. Menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, pekerja seks di jalan Sudirman seringkali rolling ke Jalan Braga. Selama Bulan Ramadhan 2007 saja banyak pekerja seks baru dengan umur belasan tahun yang mangkal di Jalan Braga. Yang mengherankan justru organisasi Islam tidak ada yang bertindak terhadap keadaan ini.
Kawasan Jalan Braga merupakan salah satu dari sekian banyak tempat mangkal PSK di kota Bandung. Mereka adalah pekerja seks komersil yang berasal dari pinggiran kota Bandung atau dari luar kota Bandung - daerah Pantura. Sebut saja, Garut, Tasik, Subang, dan Indramayu, dan kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Kawasan Jatinangor, kabupaten Sumedang, misalnya, tidak sedikit mahasiswi di kawasan institusi pendidikan di sana juga melakukan praktik seks komersil dengan lokalisasi terselubung di kompleks kost-kosan.
Bandung sebagai kembangnya kota besar di Jawa Barat merupakan aset pariwisata yang cukup besar dalam memberikan pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya tempat-tempat hiburan di Jalan Braga dan Jalan Jenderal Sudirman. Kawasan pekerja seks komersil di Bandung tidak hanya berada di pemukinan penduduk seperti Saritem. Kamar-kamar kos di sekitar kampus dan pusat perbelanjaan, sekolah juga cukup banyak. PSK di lingkungan ini tidak melakukannya secara terbuka, aktivitasnya terbungkus rapi oleh organisasi terselubung dengan banyak broker, hingga membentuk komunitas dengan kelas-kelasnya sendiri. Dan ini tidak tersentuh oleh media massa. Jaringan pemasaran komunitas di luar PSK hanya diketahui oleh para konsumennya saja.
Ayam Abu-abu (PSK berseragam Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), misalnya, menjadi lahan potensial untuk mengakomodasi kebutuhan pasar seks komersil para eksekutif atau mahasiswa di Bandung atau kota lain yang pelesir ke Bandung. Sama halnya dengan PSK yang berumur di atas remaja, Ayam Abu-abu juga banyak yang melakukannya sendiri-sendiri. Menurut beberapa user, mereka yang tidak menginduk pada satu jaringan pemasaran ayam abu-abu mengambil tempat mangkal di Mall-Mall atau caffe. Selain Ayam Abu-abu di pinggiran kota Bandung juga bermunculan ayam biru (PSK berseragam sekolah lanjutan tingkat pertama).
Pada praktiknya, mereka memang tidak mengenakan seragam sekolah dalam menjalankan profesinya, terkecuali mereka yang berusaha dan memasarkan diri secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, ayam abu-abu atau ayam biru ini tidak nampak sebagai PSK karena dilihat dari postur tubuh mereka tidak nampak sebagai anak remaja atau "abg" yang menjual diri.
Menurut pengamatan penulis, dari semua yang berprofesi sebagai PSK terselubung ini memiliki alasan yang beragam mengapa mereka melakukan praktik seks komersil. Secara umum dikategorikan menjadi dua alasan. Pertama, kebutuhan hidup dasar; untuk makan dan kebutuhan hidup dasar lainnya - ekonomi. Kedua, kebutuhan gaya hidup metropolis; misalnya untuk clubbing atau belanja pakaian dan aksesoris.
Praktik terselubung lainnya, adalah mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa kampus teridikasi melakukan praktik seks komersil atau seks bebas untuk hiburan pribadi. Dan lagi-lagi, mereka adalah individu-individu yang tidak memiliki rumah tinggal sendiri atau kos. Latar belakang mereka yang satu ini adalah cenderung untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang pemenuhan kebutuhan hidup dasar.
Lalu, siapa yang mengakomodasi praktik semacam ini? Yang jelas adalah mereka sendiri yang disebabkan oleh rasa kekurangan atas biaya hidup di kota Bandung atau untuk membiayai sekolah saudaranya di kampung halaman. Kedua, praktik ini menjadi budaya dikarenakan ada user atau konsumen mereka. Oleh sebab itulah, siapa pun tidak bisa menyalahkan mereka yang berprofesi di sana atau pun mereka yang menggunakan mereka untuk kepuasan seks pribadinya. Yang harus dibenahi adalah kesadaran semua pihak untuk sama-sama memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat.
Masalah ini rupanya disebabkan oleh meningkatnya angka kemiskinan di Jawa Barat tahun ini. Dalam artikel di Kompas, tertulis “Di balik berita laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat, naiknya laju pertumbuhan ekonomi Jabar dari 5 persen menjadi 6,2 persen, terdapat pula berita tidak sedap, yaitu angka kemiskinan di Jabar tahun ini ternyata meningkat dari 28,29 persen menjadi 29,05 persen. Angka ini berada di atas angka kemiskinan nasional yang mencapai sekitar 18 persen”. Namun demikian, menurut riset, pelacuran di Bandung lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup anak-anak muda kota Bandung karena seks bebas sudah menjadi budaya masyarakat urban yang sudah tidak lagi memandang tabu terhadap seks bebas atau seks pra-nikah. Budaya ini sudah berkembang di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pengangguran.
Jalan Braga – Terminal Pekerja Seks Komersil di Bandung
Jalan Braga tidak muncul begitu saja. Kawasan ini memiliki latar belakang historis yang menarik sebagai wisata sejarah kota Bandung. Koffie Pakhuis adalah sebuah gedung pengemasan kopi di Jawa Barat. Jalan Raya Pos sangat penting sebagai sarana pengiriman hasil bumi. Jalur penghubung antara kedua tempat tersebut adalah jalan setapak berlumpur yang biasa dilalui oleh pedati kuda dan dikenal dengan nama Pedati Weg (Jalan Pedati). Jalan inilah yang kelak dikenal bernama Jalan Braga.
Jalan Pedati (kini Jalan Braga) berkembang secara lambat, dari jalan pintas yang berlumpur menjadi kawasan pemukiman. Pada tahun 1874, terdapat enam atau tujuh rumah permanen, dan beberapa warung beratapkan rumbia. Obor adalah alat penerangan waktu itu. Rumah-rumah batu tersebut menempati kapling-kapling yang luas sehingga antara bangunan yang satu dengan yang lain tidak berimpitan. Halaman depan pun luas dan bisa didapati adanya gudang-gudang atau paviliun di samping bangunan rumah-rumah tersebut.
Nama "Braga" sendiri menimbulkan beberapa kontroversi. Beberapa sumber sejarah mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Pemilihan nama "Braga" oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi (nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman). Sedangkan dalam Sastra Sunda, “Baraga” adalah nama jalan di tepi sungai, sehingga berjalan menyusuri sungai disebut “ngabaraga”. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), kemudian tersohor ke seluruh Hindia Belanda dan Eropa. Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan “ngabaraga” tadi berubah menjadi “ngabar raga” (pamer tubuh atau pasang aksi).
Memang di masa-masa sebelum PD II, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Kata “deren” dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata “paraderen” yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga.
Tradisi itu rupanya terus berlangsung hingga saat ini. Banyak masyarakat asli Bandung dan pendatang yang jual tampang di kawasan jalan ini, bahkan wisatawan asing tidak mau ketinggalan. Karena jalan ini termasuk kawasan wisata kota Bandung.
Pada suatu malam penulis mengamati kawasan ini yang terkenal sebagai terminal PSK di kota Bandung. Sekira pukul 22.00 wib perempuan-perempuan belia muncul satu-satu dari berbagai arah. Kaki-kaki indah itu melangkah ke satu pintu, satu shelter, sebut saja CP. Di sanalah semua bermula. Perjanjian ekonomi antarperempuan kelas bawah mengadu nasib dan keberuntungan. Sumber ekonomi yang diyakini dapat menopang hidup mereka dan keluarga mereka yang menunggu di kampung halamannya. Menopang hidup pada malam hingga fajar menyingsing.
Kemudian, satu per satu meninggalkan shelter dan mulai menempati posisi masing-masing. Ada yang menempati pintu parkir CP atau di kios-kios rokok sambil menunggu pelanggan datang. PKL yang mangkal tidak hanya tukang rokok saja di sana, ada juga tukang nasi soto, bubur ayam, gorengan, atau nasi goreng. Mereka biasanya makan nasi soto sebelum melayani pelanggan.
Perempuan-perempuan malam ini jarang yang datang sendirian. Banyak dari mereka diantar dan ditunggui lelaki dengan sepeda motor. Sebut saja lelaki ini sebagai “pendamping”, yaitu Lelaki yang selalu mengantarkan PSK ke kawansan Braga, dan selalu sigap membawa pergi PSK dari penangkapan oleh parat kepolisian ketika dirazia oleh polisi pamong praja. Mereka menunggu kawan perempuan, atau bahkan kekasih mereka itu hingga pagi. Ada juga lelaki dengan sepeda motornya itu berlaku sebagai marketing. Misalnya, antar jemput perempuan malam ke konsumen mereka atau menawarkan kawan perempuannya kepada mobil-mobil yang melaju lambat di kawasan itu.
Mereka yang dianggap senior menunggu sang pria idaman mereka di shelter itu. Di sini dapat dilihat perbedaan kelas berdasarkan senioritas, atau jam terbang sebagai pelayan tubuh lelaki malam. Dan penampilan atau kemasan mereka menentukan tarifnya. Mereka yang masih muda, di bawah umur bebas menentukan tarif tinggi karena faktor orisinalitas “barang”-nya. Pengalaman bermain tentu saja punya prioritas harga yang tinggi. Namun demikian, faktor umur yang bertambah dapat menurunkan nilai jual.
Dede, pedagang rokok asongan, biasa berjualan di kawasan jalan Braga sempat juga ditawari seorang pemain lama dengan harga murah sekali. Dede kontan menolak, bukan karena tak mau melayani kebutuhan order perempuan tua itu. Dede menceritakan, “kalau saya habiskan uang ladang usaha rokok saya untuk yang gituan, ngga bisa jualan lagi saya,” katanya sambil tertawa malu-malu. Lelaki muda, 20 tahun, yang lugu ini banyak tahu kejadian-kejadian di kawasan itu. Operasi penertiban oleh polisi di kawasan itu misalnya, pada malam itu pendamping siap melarikan perempuan-perempuan malam untuk sembunyi dari pengejaran aparat.
Pedagang asongan atau tukang parkir yang biasa mangkal di sana jarang mengatakan, sekali pihak polisi pamong praja melakukan razia pada malam hari di hari-hari tertentu sekalipun mereka lolos dibawa pengendara sepeda motor - pendampingnya. Ada juga yang tertangkap dan menginap di tahanan semalam, kemudian turun ke jalan lagi. Namun secara terselubung aparat kepolisian kota Bandung yang berpatroli malam sering datang ke kawasan itu untuk meminta “jatah” (Uang sogokan dari broker PSK di kawasan Braga).
Kawasan Braga memang potensial jadi tempat mangkal PSK untuk menjaring pelanggannya. Banyak tempat hiburan malam di sana. Sebut saja cafe-cafe musik, “Braga Weg”, “Braga Dangdut”, “Prima Billiard” yang baru dibuka lebih luas menembus hingga ke Jalan Braga yang semula hanya di Jalan Suniaraja beberapa bulan terakhir. Atau “Ibiza pool and lounge”, juga “Caesar Palace” (CP). Berbeda dengan CP, perempuan malam di sana tidak tergolong PSK, karena perempuan di sana hanya “dipakai” oleh anggota CP atau pengunjung tempat hiburan tersebut.
Selepas pukul sepuluh malam, suasana di kawasan Braga seperti pasar perempuan malam saja. Remaja dan perempuan muda mengisi celah-celah kawasan Braga dengan menebarkan pesona tubuhnya yang seksi dan glamor itu.
Pasar, siapapun boleh datang untuk membelanjakan uangnya. Siapapun boleh berjualan di sana, baik jualan barang jajanan makanan murah juga barang hidup yang dapat memuaskan kebutuhan seks lelaki malam tentunya. Sebut saja Apih, lelaki separuh baya, siang hari menjadi tukang becak di jalan Viaduct. Malam harinya, dia berlaku sebagai penghubung atau marketing untuk langganan-langganan perempuan muda yang didampinginya dari Jakarta. Apabila Apih sudah mulai kejar tayang, becaknya siap sedia membawa perempuan muda itu untuk wisata heritage dengan mengelilingi kawasan Braga (Jalan Suniaraja, Viaduct, Perintis Kemerdekaan, Braga, Lembong) untuk mencari pelanggan di jalan-jalan, atau mengantar PSK ke hotel terdekat di kawasan itu.
Apih mengatakan kepada saya, bahwa perempuan-perempuan ini banyak yang berasal dari daerah Garut dan Tasikmalaya. Dengan sikap yang tertutup, Apih mengatakan tidak mengenal dekat perempuan-perempuan itu. “Saya hanya menawarkan kalau tamu datang kepada saya. Mereka, pelanggan, bebas memilih mana yang disukai. Kalau cocok......ya......silahkan bawa.” Begitu katanya dengan santun sembari pamit ketika sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya.
Konsumen perempuan malam di kawasan Braga ini tidak hanya lelaki dewasa saja. Mahasiswa atau remaja juga banyak yang sering menggunakan jasa seks perempuan-perempuan malam ini. Lelaki dewasa biasanya memilih perempuan malam yang sudah berpengalaman, dan biasanya memilih perempuan yang mangkal di dalam CP atau yang rutin mangkal di Jalan Braga.
Kejadiannya, perempuan diambil dari dalam CP dan setelah dipakai dikembalikan lagi ke sana melalui pintu masuk yang berada di jalan Suniaraja. Mereka yang diambil dari depan Landmark juga diturunkan dari mobilnya di sana lagi. Atau beberapa pelanggan yang sembunyi-sembunyi menurunkan perempuan malamnya di jalan yang sepi.
Pelajar atau mahasiswa biasanya tidak datang sendirian. Satu mobil sedan saja bisa berenam atau berlima. Dan jasa layanan seks komersil itu bisa berlangsung di kawasan itu juga. Setelah adu tawar harga, praktik seks komersil dilakukan di dalam mobil dalam waktu beberapa jam saja. Sort-time, maksudnya. Mereka yang mapan lazimnya menggunakan jasa seks komersil perempuan itu di hotel-hotel.
Seorang tukang parkir asal Garut, Ape (30 tahun), sudah sejak tahun 1984 menjadi tukang parkir di depan Gedung Landmark, Jalan Braga. Ia mengaku terganggu dengan kehadiran perempuan-perempuan malam itu. Pasalnya, banyak mobil parkir di tempatnya tidak membayar uang parkir setelah numpang parkir untuk negosiasi dengan perempuan malam di sana. Bapak ini sangat prihatin melihat tempat bekerjanya itu dipakai untuk pelacuran. Ia mengatakan kepada saya, “seharusnya mereka itu dikejar terus ditangkap, lalu dipenjarakan di sel khusus wanita di daerah Majalengka. Biar jera dan tidak datang lagi ke sini.” Ia juga mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk mengingatkan mereka.
Ape bercerita kepada saya. Pertumbuhan pekerja seks komersil di kawasan ini mulai melonjak sejak tahun 2004. Razia yang dilakukan aparat tidak mengurangi praktik seks komersil di sana. “Saya kenal seorang pelacur di sini. Dia jadi primadona pada tahun 90-an. Dan kini kondisi kesehatannya sangat memprihatinkan. Uang hasil dagang itu habis untuk biaya pengobatan tubuhnya yang sering sakit-sakitan.” Ia ceritakan ini bukan kepada saya saja, sempat juga diceritakan kepada salah seorang perempuan malam yang terbilang masih pendatang baru. Maksudnya adalah untuk mengingatkan perempuan malam akan kehidupannya di usia dewasa nanti. Namun, mereka tetap saja menjalani profesi PSK dengan alasan kebutuhan biaya hidup.
Perempuan muda yang mangkal di kawasan Jalan Braga bukan saja mereka yang terlilit kesulitan ekonomi untuk hidup. Mereka yang di bawah umur banyak juga yang berasal dari keluarga mampu, namun karena salah pergaulan akibat hubungan keluarga yang tidak harmonis menyebabkan mereka dimanfaatkan oleh teman sendiri untuk menjual diri.
Selepas fajar, sekira pukul enam pagi. Para PSK berkumpul di Jalan Tamblong dengan sejumlah mobil taksi yang siap mengantar mereka pulang ke rumah kos atau kontrakan mereka. Kawasan Jalan Braga pun kembali senyap seperti buku sejarah wajah-wajah penjual tampang jaman kolonial.
Jalan Braga; Herittage Tourism vis a vis Terminal PSK di Bandung
Pelacuran memang bukan masalah sosial di satu kota saja. Kota Jakarta, misalnya, pelajar dan mahasiswi juga banyak yang menekuni profesi ini dengan berbagai alasan. Persoalan ekonomi keluarga menjadi alasan yang umum dipunyai pekerja seks komersil perempuan ini. Tidak hanya malam hari seperti lazimnya di Braga. Pelajar, sebut saja ayam abu-abu, mencari dan melayani pelanggannya sepulang dari sekolah mereka.
Usai berdiskusi tentang pariwisata di Jawa Barat (26/5) saya mewawancara insan pariwisata di Bandung mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Rina (27) berpendapat bahwa pelacuran di Braga, Bandung, baiknya dibuat lokalisasi yang legal. Biar lebih teratur ketimbang mangkal secara liar di jalan-jalan. Pemerintah kota Bandung semestinya membuat regulasi yang jelas untuk menangani masalah sosial ini. Mengurangi jumlah pekerja seks bukan perkara mudah. Karena siapapun yang menangani masalah ini selalu dihadapkan pada pertanyaan dari para pekerja seks komersil, “Mana lowongan pekerjaannya untuk saya?”
Fakta inilah yang saya hadapi ketika bertatap muka dengan pekerja seks komersil yang tidak terlokalisasi di kawasan Braga. Adalah Desi, nama panggilannya, perempuan asal Subang ini mencoba mengadu nasib di kota Bandung dengan bekerja malam sebagai pekerja seks komersil. Berulang kali kena tangkap aparat dan mendapat binaan menjahit di tempat rehabilitasi perempuan. Berulang kali juga dia menjajakan diri sebagai pemuas nafsu berahi lelaki malam yang menawarkan sejumlah uang padanya.
Desi mengaku tidak punya keahlian khusus, dan mencari pekerjaan pun sulitnya minta ampun hanya karena pendidikannya yang sampai sekolah menengah pertama. Latar belakang ekonomi keluarganya menjadi alasan Desi menjadi penjaja seks komersil di Bandung. Dan tidak hanya di kawasan Braga saja dia beroperasi menjaring pelanggan. Dia pernah mangkal di jalan Jenderal Sudirman, dekat kawasan tempat hiburan malam di sana.
Jawaban serupa juga ditemui Rina ketika sengaja bertanya kepada pekerja seks komersil di kawasan Saritem. Malah, banyak di antara mereka yang setengah paksa menuruti orang tua mereka untuk menjadi pekerja seks komersil di usia remaja. Tak ayal lagi bertujuan menopang biaya hidup keluarganya di kampung halaman.
Menenggarai kenyataan ini, Rina mengatakan “sebaiknya para pekerja seks itu dilokalisasikan di suatu tempat secara legal, dan jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini untuk mencegah pengaruh negatif kepada anak-anak. Bagaimana anak-anak mendapat pendidikan dan perkembangan psikologis yang baik bila lingkungannya mendidik anak-anak seperti itu secara tidak langsung. Regulasi dari pemerintah mengenai pelacuran ini akan mengatur batasan umur pekerja seks komersilnya, termasuk konsumennya. Sehingga anak-anak di bawah usia tidak akan terjerumus kepada seks komersil. Regulasi ini juga diharapkan mengatur ukuran kesehatan pekerja seks, sehingga berdampak pada pencanangan cegah penyebaran penyakit HIV/AIDS. Akan tetapi masalahnya menurut pemaparan Rina, “masyarakat kita tidak open minded,” kata Rina dengan heran.
Emme mengatakan kepada saya mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Opini seorang mahasiswi pariwisata ini hampir senada dengan pendapat Rina, bahwa peran pemerintah kota Bandung dalam mengelola kawasan Braga berkaitan dengan fenomena seks komersil di sana. Emme sangat tidak setuju dengan praktik seks komersil di sana, lebih karena pekerja seks komersil di sana banyak dilakukan oleh remaja di bawah umur. Usia muda yang semestinya mengenyam pendidikan untuk masa depannya sendiri di tengah masyarakat. Emme sangat menyayangkan apabila kawasan Braga digunakan sebagai pangkalan pekerja seks komersil atau sarana seks bebas. Braga merupakan salah satu tempat tujuan wisata domestik maupun wisatawan asing, dan berpotensi sebagai salah satu heritage tourism. Dia mengatakan, untuk membenahi tata kota dan fungsinya dibutuhkan regulasi dari pemerintah kota Bandung untuk menertibkan kawan Braga dari praktik seks komersil. Namun memang perlu proses yang tidak sebentar untuk membenahi kawasan Braga menjadi heritage tourism. “Bukankah para psk itu bisa diberdayakan menjadi guide tour di kawasan itu. Sehingga terbuka lapangan pekerjaan yang positif bagi mereka sendiri. Dan pekerjaan mereka menjadi sebuah promosi wisata ke luar”.
Yudi (28 tahun), karyawan swasta di Bandung, mengaku pernah menyantap kenikmatan seks dari pekerja seks di kawasan Braga pada tahun 2000. dari keterangan yang diungkapkan kepada saya. Pekerja seks komersil di sana bukan saja perempuan dewasa atau perempuan cukup umur saja, akan tetapi mahasiswi dan pelajar sekolah menengah umum. Alasan mahasiswi dan pelajar menjalani profesi itu karena uang. Uang untuk hidup, untuk sekolah dan atau untuk biaya kuliah. Waktu itu Yudi masih membayar tarif yang cukup murah ketimbang sekarang ini yang mencapai jutaan rupiah per malam. Padahal pada tahun 2000 tarif perempuan malam tidak mencapai satu juta rupiah dalam kontrak sort time. Jalan Braga sekarang berfungsi ganda. Kawasan heritage tourism dan wisata tubuh. Meski polisi pamong praja secara rutin melakukan operasi penertiban, para pekerja seks komersil tetap saja mangkal di sana, bahkan menjadi subterminal pelacuran bagi new entry dari luar kota Bandung, karena mereka yang sudah lama pindah pangkalan ke kawasan Jalan Jenderal Sudirman. (Teks dan foto oleh A. Firmansah. Dari Berbagai Sumber)
Lapangan pekerjaan masih terbilang sempit di Bandung, padahal banyak masyarakat di Jawa Barat mengharapkan kota Bandung menjadi pilihan alternatif setelah Jakarta, khususnya bagi perempuan. Di masa sulit seperti ini banyak perempuan dibebani tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mencari nafkah. Akhirnya perempuan dihadapkan pada kenyataan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak, apalagi mereka mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat dasar saja.
“Banting stir!” itulah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan muda yang datang ke kota Bandung. Pelajar hingga mahasiswa pun banyak yang bekerja sambil mencari ilmu. Tentu saja ada yang bekerja secara layak dan banyak juga yang tidak layak – berperilaku asusila secara terselubung. Namun demikian mereka yang bekerja asusila dengan menjual diri tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Karena memang lapangan pekerjaan yang sempit bagi mereka yang memiliki keahlian terbatas. Maka pilihan terakhir pun diambilnya, pekerja seks komersil.
Saya melakukan riset panjang mengenai seks bebas di wilayah Bandung dan sekitarnya. Awalnya memang seks bebas karena pergaulan anak-anak muda jaman sekarang. Ada yang karena taruhan bersama kawan-kawan di lingkungan kampus atau tempat kost-nya, sehingga yang kalah taruhan harus “mencoba” tidur dengan laki-laki yang menjadi piala bergilirnya. Laki-laki macam ini tentu saja memanfaatkan kesempatan gratis untuk menikmati hubungan intim tanpa harus membayar. Dan yang lebih menguntungkan, adalah bahwa si perempuan itu bukan psk, tapi perempuan dengan rasa ingin tahu yang lebih terhadap pengalaman seks atau hubungan intim tanpa pengetahuan orang tua mereka.
Dari sanalah muncul fenomena dan kini sudah menjadi budaya, yaitu seks bebas. Komunitas anak muda menamakan mereka “Cewek Bispak”. Perempuan yang bisa diajak berhubungan intim atas dasar rasa saling suka atau coba-coba, dan tanpa ada komitmen atau perjanjian untuk membayar upah kepuasannya.
Beberapa komunitas kecil memang mempertahankan budaya seks bebas itu sebagai gaya hidup pergaulan di antara mereka. Sebagian besar lagi terjun ke dunia seks komersil, seperti yang dialami oleh, sebut saja Daini, seorang mahasiswi sebuah universitas terkemuka di Bandung dan Jatinangor, Sumedang. Ketika ditanya mengapa menjadi komersil? Jawabnya sederhana saja "Saya bukan pelacur kok. Saya dan teman-teman memang suka melakukan seks dengan cowok yang kami suka." Dan menurut Hendrik, 23 thn, warga Desa Jatiroke, Sumedang, "Tempat kost di kawasan Jatinangor, Sumedang, banyak digunakan untuk seks bebas mahasiswa dan mahasiswi di kawasan itu. Trik mereka adalah dengan menggandakan kunci kamar. Jadi, mereka tidak dicurigai masuk ke kamar perempuan atau laki-lakinya. Padahal di dalam kamar sudah menunggu pasangannya," papar Hendrik. Tempat kost sebagai sarana seks bebas sudah dianggap lazim, meski warga sekitar sudah mencela perilaku kalangan terpelajar di sana. Perilaku ini masih dianggap sulit karena pemilik kost kebanyakan warga Jakarta dan Bandung yang membebaskan tempat kostnya asalkan bisnis kost nya tatp berjalan. Sejumlah daerah malah dibiarkan karena unsur pemerintah setempat mendapat uang bising dari mahasiswa/mahasiswi yang sudah biasa berseks bebas di sana. Budaya ini berkembang dari semenjak kampus terbesar di kawasan Jatinangor memindahkan sejumlah fakultas dari Bandung ke Jatinangor.
Kota Bandung sudah menjadi kota metropilitan, layaknya Jakarta sekarang. Gaya hidup masyarakat pendatang, urban kota Bandung, turut membentuk budaya mirip kosmopolitan. Ciri khas kota metropolis adalah tumbuhnya berbagai komunitas metroseksual, seperti gay, lesbian, homo. Kota metropolis sudah menjadi target masyarakat miskin untuk mencari nafkah. Akan tetapi karena faktor pendidikan yang minim dan keahlian profesi yang minim menyebabkan sebagian masyarakat di kabupaten menjadi masyarakat urban di daerah metropolis. Bandung, dianggap lebih mudah terjangkau oleh masyarakat di Jawa Barat setelah DKI Jakarta. Tak heran banyak perempuan sengaja datang ke Bandung menjadi pekerja seks komersil (PSK).
Mengapa Bandung dibanjiri perempuan dari kota/kabupaten di Jawa Barat, datang ke Bandung sebagai pekerja seks komersil setelah gagal memperoleh pekerjaan yang layak? Rupanya menurut sejarah, kota Bandung sempat dinamai Bandung Excelcior (1856), The Sleeping Beauty (1884), De Bloem der Indische Bergsteden (1896), Parijs van Java (1920), The Garden of Allah (1921), Intellectuele Centrum van Indië (1921), Staatskundig Centrum van Indië (1923), Europe in de Tropen (1936) dan Kota Asia Afrika (1955). Daya tarik inilah yang memancing perempuan dari daerah pelosok untuk datang ke kota pariwisata terbesar di Jawa Barat ini.
Hal lain dapat dilihat pada sejarah keemasan kota Bandung pada tahun1920 - 1930, di mana Bandung menjadi tempat pelesir bagi wisatawan bangsa Eropa. Bandung menjadi salah satu tempat favorit orang Eropa, terutama Braga weg atau Jalan Braga. Jalan Braga juga sempat mendapat julukan De meest Eropeesche winkelstraat van Indie (Kompleks Pertokoan paling terkemuka di Hindia Belanda). Sekarang, Jalan Braga menjadi terminal para pekerja seks komersil memang tidak mengherankan. Karena sejak jaman kolonial jalan itu sudah menjadi arena pelesiran orang-orang Eropa. Dan hingga kini masih berlangsung dengan sedemikian rupa. Kawasan Braga sedang dibersihkan dari praktik pelacuran. Namun daerah lain masih tetap melakukan bisnis perempuan malam. Hanya saja mereka lebih rapi dan tertib sehingga tidak terlalu mencolok.
Kawasan Jalan Gardujati memiliki Saritem. Sebuah lokalisasi yang paling senior di antara tempat-tempat mangkal para PSK di kota Bandung. Lokalisasi Saritem yang ditutup beberapa bulan yang lalu sebenarnya merupakan agenda Walikota Bandung, Dada Rosada, yang ingin membuat kota Bandung menjadi kota bermartabat dan religius di masa yang akan datang. Akan tetapi pangkalan liar PSK di Bandung tidak mampu ditertibkan dengan tuntas.
Pangkalan pekerja seks komersil nyatanya tersebar di kota Bandung. Sebut saja Ir. H. Djuanda (Dago), Jalan Dr. Setiabudi, Jalan Inggit Garnasih (Ciateul), Jalan Rd. Dewi Sartika, Jalan Moch. Toha, Jalan Jalan Cikapundung, Jalan Oto Iskandardinata (kawasan Pasar Baru), Jalan ABC, Jalan Alkateri, Jalan Braga, Jalan Suniaraja, Jalan Viaduct, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Lembong, Jalan Asia Afrika, Jalan Jenderal Sudirman. Jalan-jalan dengan nama pahlawan nasional itulah yang menjadi pangkalan pekerja seks komersil secara liar.
Lokalisasi yang terselubung atau tempat mangkal PSK secara liar melebihi jumlah PSK yang terorganisir di Saritem. Ini dapat dilihat pada pemandangan kota Bandung di malam hari. Meski Perda Kota Bandung tentang pelarangan lokalisasi pelacuran dikeluarkan, hanya tempat mangkal PSK mencolok saja yang ditertibkan. Malahan kawasan pekerja seks di Jalan Sudirman memiliki jaringan dengan pekerja seks di Jalan Braga. Menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, pekerja seks di jalan Sudirman seringkali rolling ke Jalan Braga. Selama Bulan Ramadhan 2007 saja banyak pekerja seks baru dengan umur belasan tahun yang mangkal di Jalan Braga. Yang mengherankan justru organisasi Islam tidak ada yang bertindak terhadap keadaan ini.
Kawasan Jalan Braga merupakan salah satu dari sekian banyak tempat mangkal PSK di kota Bandung. Mereka adalah pekerja seks komersil yang berasal dari pinggiran kota Bandung atau dari luar kota Bandung - daerah Pantura. Sebut saja, Garut, Tasik, Subang, dan Indramayu, dan kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Kawasan Jatinangor, kabupaten Sumedang, misalnya, tidak sedikit mahasiswi di kawasan institusi pendidikan di sana juga melakukan praktik seks komersil dengan lokalisasi terselubung di kompleks kost-kosan.
Bandung sebagai kembangnya kota besar di Jawa Barat merupakan aset pariwisata yang cukup besar dalam memberikan pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya tempat-tempat hiburan di Jalan Braga dan Jalan Jenderal Sudirman. Kawasan pekerja seks komersil di Bandung tidak hanya berada di pemukinan penduduk seperti Saritem. Kamar-kamar kos di sekitar kampus dan pusat perbelanjaan, sekolah juga cukup banyak. PSK di lingkungan ini tidak melakukannya secara terbuka, aktivitasnya terbungkus rapi oleh organisasi terselubung dengan banyak broker, hingga membentuk komunitas dengan kelas-kelasnya sendiri. Dan ini tidak tersentuh oleh media massa. Jaringan pemasaran komunitas di luar PSK hanya diketahui oleh para konsumennya saja.
Ayam Abu-abu (PSK berseragam Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), misalnya, menjadi lahan potensial untuk mengakomodasi kebutuhan pasar seks komersil para eksekutif atau mahasiswa di Bandung atau kota lain yang pelesir ke Bandung. Sama halnya dengan PSK yang berumur di atas remaja, Ayam Abu-abu juga banyak yang melakukannya sendiri-sendiri. Menurut beberapa user, mereka yang tidak menginduk pada satu jaringan pemasaran ayam abu-abu mengambil tempat mangkal di Mall-Mall atau caffe. Selain Ayam Abu-abu di pinggiran kota Bandung juga bermunculan ayam biru (PSK berseragam sekolah lanjutan tingkat pertama).
Pada praktiknya, mereka memang tidak mengenakan seragam sekolah dalam menjalankan profesinya, terkecuali mereka yang berusaha dan memasarkan diri secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, ayam abu-abu atau ayam biru ini tidak nampak sebagai PSK karena dilihat dari postur tubuh mereka tidak nampak sebagai anak remaja atau "abg" yang menjual diri.
Menurut pengamatan penulis, dari semua yang berprofesi sebagai PSK terselubung ini memiliki alasan yang beragam mengapa mereka melakukan praktik seks komersil. Secara umum dikategorikan menjadi dua alasan. Pertama, kebutuhan hidup dasar; untuk makan dan kebutuhan hidup dasar lainnya - ekonomi. Kedua, kebutuhan gaya hidup metropolis; misalnya untuk clubbing atau belanja pakaian dan aksesoris.
Praktik terselubung lainnya, adalah mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa kampus teridikasi melakukan praktik seks komersil atau seks bebas untuk hiburan pribadi. Dan lagi-lagi, mereka adalah individu-individu yang tidak memiliki rumah tinggal sendiri atau kos. Latar belakang mereka yang satu ini adalah cenderung untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang pemenuhan kebutuhan hidup dasar.
Lalu, siapa yang mengakomodasi praktik semacam ini? Yang jelas adalah mereka sendiri yang disebabkan oleh rasa kekurangan atas biaya hidup di kota Bandung atau untuk membiayai sekolah saudaranya di kampung halaman. Kedua, praktik ini menjadi budaya dikarenakan ada user atau konsumen mereka. Oleh sebab itulah, siapa pun tidak bisa menyalahkan mereka yang berprofesi di sana atau pun mereka yang menggunakan mereka untuk kepuasan seks pribadinya. Yang harus dibenahi adalah kesadaran semua pihak untuk sama-sama memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat.
Masalah ini rupanya disebabkan oleh meningkatnya angka kemiskinan di Jawa Barat tahun ini. Dalam artikel di Kompas, tertulis “Di balik berita laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat, naiknya laju pertumbuhan ekonomi Jabar dari 5 persen menjadi 6,2 persen, terdapat pula berita tidak sedap, yaitu angka kemiskinan di Jabar tahun ini ternyata meningkat dari 28,29 persen menjadi 29,05 persen. Angka ini berada di atas angka kemiskinan nasional yang mencapai sekitar 18 persen”. Namun demikian, menurut riset, pelacuran di Bandung lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup anak-anak muda kota Bandung karena seks bebas sudah menjadi budaya masyarakat urban yang sudah tidak lagi memandang tabu terhadap seks bebas atau seks pra-nikah. Budaya ini sudah berkembang di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pengangguran.
Jalan Braga – Terminal Pekerja Seks Komersil di Bandung
Jalan Braga tidak muncul begitu saja. Kawasan ini memiliki latar belakang historis yang menarik sebagai wisata sejarah kota Bandung. Koffie Pakhuis adalah sebuah gedung pengemasan kopi di Jawa Barat. Jalan Raya Pos sangat penting sebagai sarana pengiriman hasil bumi. Jalur penghubung antara kedua tempat tersebut adalah jalan setapak berlumpur yang biasa dilalui oleh pedati kuda dan dikenal dengan nama Pedati Weg (Jalan Pedati). Jalan inilah yang kelak dikenal bernama Jalan Braga.
Jalan Pedati (kini Jalan Braga) berkembang secara lambat, dari jalan pintas yang berlumpur menjadi kawasan pemukiman. Pada tahun 1874, terdapat enam atau tujuh rumah permanen, dan beberapa warung beratapkan rumbia. Obor adalah alat penerangan waktu itu. Rumah-rumah batu tersebut menempati kapling-kapling yang luas sehingga antara bangunan yang satu dengan yang lain tidak berimpitan. Halaman depan pun luas dan bisa didapati adanya gudang-gudang atau paviliun di samping bangunan rumah-rumah tersebut.
Nama "Braga" sendiri menimbulkan beberapa kontroversi. Beberapa sumber sejarah mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Pemilihan nama "Braga" oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi (nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman). Sedangkan dalam Sastra Sunda, “Baraga” adalah nama jalan di tepi sungai, sehingga berjalan menyusuri sungai disebut “ngabaraga”. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), kemudian tersohor ke seluruh Hindia Belanda dan Eropa. Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan “ngabaraga” tadi berubah menjadi “ngabar raga” (pamer tubuh atau pasang aksi).
Memang di masa-masa sebelum PD II, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Kata “deren” dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata “paraderen” yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga.
Tradisi itu rupanya terus berlangsung hingga saat ini. Banyak masyarakat asli Bandung dan pendatang yang jual tampang di kawasan jalan ini, bahkan wisatawan asing tidak mau ketinggalan. Karena jalan ini termasuk kawasan wisata kota Bandung.
Pada suatu malam penulis mengamati kawasan ini yang terkenal sebagai terminal PSK di kota Bandung. Sekira pukul 22.00 wib perempuan-perempuan belia muncul satu-satu dari berbagai arah. Kaki-kaki indah itu melangkah ke satu pintu, satu shelter, sebut saja CP. Di sanalah semua bermula. Perjanjian ekonomi antarperempuan kelas bawah mengadu nasib dan keberuntungan. Sumber ekonomi yang diyakini dapat menopang hidup mereka dan keluarga mereka yang menunggu di kampung halamannya. Menopang hidup pada malam hingga fajar menyingsing.
Kemudian, satu per satu meninggalkan shelter dan mulai menempati posisi masing-masing. Ada yang menempati pintu parkir CP atau di kios-kios rokok sambil menunggu pelanggan datang. PKL yang mangkal tidak hanya tukang rokok saja di sana, ada juga tukang nasi soto, bubur ayam, gorengan, atau nasi goreng. Mereka biasanya makan nasi soto sebelum melayani pelanggan.
Perempuan-perempuan malam ini jarang yang datang sendirian. Banyak dari mereka diantar dan ditunggui lelaki dengan sepeda motor. Sebut saja lelaki ini sebagai “pendamping”, yaitu Lelaki yang selalu mengantarkan PSK ke kawansan Braga, dan selalu sigap membawa pergi PSK dari penangkapan oleh parat kepolisian ketika dirazia oleh polisi pamong praja. Mereka menunggu kawan perempuan, atau bahkan kekasih mereka itu hingga pagi. Ada juga lelaki dengan sepeda motornya itu berlaku sebagai marketing. Misalnya, antar jemput perempuan malam ke konsumen mereka atau menawarkan kawan perempuannya kepada mobil-mobil yang melaju lambat di kawasan itu.
Mereka yang dianggap senior menunggu sang pria idaman mereka di shelter itu. Di sini dapat dilihat perbedaan kelas berdasarkan senioritas, atau jam terbang sebagai pelayan tubuh lelaki malam. Dan penampilan atau kemasan mereka menentukan tarifnya. Mereka yang masih muda, di bawah umur bebas menentukan tarif tinggi karena faktor orisinalitas “barang”-nya. Pengalaman bermain tentu saja punya prioritas harga yang tinggi. Namun demikian, faktor umur yang bertambah dapat menurunkan nilai jual.
Dede, pedagang rokok asongan, biasa berjualan di kawasan jalan Braga sempat juga ditawari seorang pemain lama dengan harga murah sekali. Dede kontan menolak, bukan karena tak mau melayani kebutuhan order perempuan tua itu. Dede menceritakan, “kalau saya habiskan uang ladang usaha rokok saya untuk yang gituan, ngga bisa jualan lagi saya,” katanya sambil tertawa malu-malu. Lelaki muda, 20 tahun, yang lugu ini banyak tahu kejadian-kejadian di kawasan itu. Operasi penertiban oleh polisi di kawasan itu misalnya, pada malam itu pendamping siap melarikan perempuan-perempuan malam untuk sembunyi dari pengejaran aparat.
Pedagang asongan atau tukang parkir yang biasa mangkal di sana jarang mengatakan, sekali pihak polisi pamong praja melakukan razia pada malam hari di hari-hari tertentu sekalipun mereka lolos dibawa pengendara sepeda motor - pendampingnya. Ada juga yang tertangkap dan menginap di tahanan semalam, kemudian turun ke jalan lagi. Namun secara terselubung aparat kepolisian kota Bandung yang berpatroli malam sering datang ke kawasan itu untuk meminta “jatah” (Uang sogokan dari broker PSK di kawasan Braga).
Kawasan Braga memang potensial jadi tempat mangkal PSK untuk menjaring pelanggannya. Banyak tempat hiburan malam di sana. Sebut saja cafe-cafe musik, “Braga Weg”, “Braga Dangdut”, “Prima Billiard” yang baru dibuka lebih luas menembus hingga ke Jalan Braga yang semula hanya di Jalan Suniaraja beberapa bulan terakhir. Atau “Ibiza pool and lounge”, juga “Caesar Palace” (CP). Berbeda dengan CP, perempuan malam di sana tidak tergolong PSK, karena perempuan di sana hanya “dipakai” oleh anggota CP atau pengunjung tempat hiburan tersebut.
Selepas pukul sepuluh malam, suasana di kawasan Braga seperti pasar perempuan malam saja. Remaja dan perempuan muda mengisi celah-celah kawasan Braga dengan menebarkan pesona tubuhnya yang seksi dan glamor itu.
Pasar, siapapun boleh datang untuk membelanjakan uangnya. Siapapun boleh berjualan di sana, baik jualan barang jajanan makanan murah juga barang hidup yang dapat memuaskan kebutuhan seks lelaki malam tentunya. Sebut saja Apih, lelaki separuh baya, siang hari menjadi tukang becak di jalan Viaduct. Malam harinya, dia berlaku sebagai penghubung atau marketing untuk langganan-langganan perempuan muda yang didampinginya dari Jakarta. Apabila Apih sudah mulai kejar tayang, becaknya siap sedia membawa perempuan muda itu untuk wisata heritage dengan mengelilingi kawasan Braga (Jalan Suniaraja, Viaduct, Perintis Kemerdekaan, Braga, Lembong) untuk mencari pelanggan di jalan-jalan, atau mengantar PSK ke hotel terdekat di kawasan itu.
Apih mengatakan kepada saya, bahwa perempuan-perempuan ini banyak yang berasal dari daerah Garut dan Tasikmalaya. Dengan sikap yang tertutup, Apih mengatakan tidak mengenal dekat perempuan-perempuan itu. “Saya hanya menawarkan kalau tamu datang kepada saya. Mereka, pelanggan, bebas memilih mana yang disukai. Kalau cocok......ya......silahkan bawa.” Begitu katanya dengan santun sembari pamit ketika sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya.
Konsumen perempuan malam di kawasan Braga ini tidak hanya lelaki dewasa saja. Mahasiswa atau remaja juga banyak yang sering menggunakan jasa seks perempuan-perempuan malam ini. Lelaki dewasa biasanya memilih perempuan malam yang sudah berpengalaman, dan biasanya memilih perempuan yang mangkal di dalam CP atau yang rutin mangkal di Jalan Braga.
Kejadiannya, perempuan diambil dari dalam CP dan setelah dipakai dikembalikan lagi ke sana melalui pintu masuk yang berada di jalan Suniaraja. Mereka yang diambil dari depan Landmark juga diturunkan dari mobilnya di sana lagi. Atau beberapa pelanggan yang sembunyi-sembunyi menurunkan perempuan malamnya di jalan yang sepi.
Pelajar atau mahasiswa biasanya tidak datang sendirian. Satu mobil sedan saja bisa berenam atau berlima. Dan jasa layanan seks komersil itu bisa berlangsung di kawasan itu juga. Setelah adu tawar harga, praktik seks komersil dilakukan di dalam mobil dalam waktu beberapa jam saja. Sort-time, maksudnya. Mereka yang mapan lazimnya menggunakan jasa seks komersil perempuan itu di hotel-hotel.
Seorang tukang parkir asal Garut, Ape (30 tahun), sudah sejak tahun 1984 menjadi tukang parkir di depan Gedung Landmark, Jalan Braga. Ia mengaku terganggu dengan kehadiran perempuan-perempuan malam itu. Pasalnya, banyak mobil parkir di tempatnya tidak membayar uang parkir setelah numpang parkir untuk negosiasi dengan perempuan malam di sana. Bapak ini sangat prihatin melihat tempat bekerjanya itu dipakai untuk pelacuran. Ia mengatakan kepada saya, “seharusnya mereka itu dikejar terus ditangkap, lalu dipenjarakan di sel khusus wanita di daerah Majalengka. Biar jera dan tidak datang lagi ke sini.” Ia juga mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk mengingatkan mereka.
Ape bercerita kepada saya. Pertumbuhan pekerja seks komersil di kawasan ini mulai melonjak sejak tahun 2004. Razia yang dilakukan aparat tidak mengurangi praktik seks komersil di sana. “Saya kenal seorang pelacur di sini. Dia jadi primadona pada tahun 90-an. Dan kini kondisi kesehatannya sangat memprihatinkan. Uang hasil dagang itu habis untuk biaya pengobatan tubuhnya yang sering sakit-sakitan.” Ia ceritakan ini bukan kepada saya saja, sempat juga diceritakan kepada salah seorang perempuan malam yang terbilang masih pendatang baru. Maksudnya adalah untuk mengingatkan perempuan malam akan kehidupannya di usia dewasa nanti. Namun, mereka tetap saja menjalani profesi PSK dengan alasan kebutuhan biaya hidup.
Perempuan muda yang mangkal di kawasan Jalan Braga bukan saja mereka yang terlilit kesulitan ekonomi untuk hidup. Mereka yang di bawah umur banyak juga yang berasal dari keluarga mampu, namun karena salah pergaulan akibat hubungan keluarga yang tidak harmonis menyebabkan mereka dimanfaatkan oleh teman sendiri untuk menjual diri.
Selepas fajar, sekira pukul enam pagi. Para PSK berkumpul di Jalan Tamblong dengan sejumlah mobil taksi yang siap mengantar mereka pulang ke rumah kos atau kontrakan mereka. Kawasan Jalan Braga pun kembali senyap seperti buku sejarah wajah-wajah penjual tampang jaman kolonial.
Jalan Braga; Herittage Tourism vis a vis Terminal PSK di Bandung
Pelacuran memang bukan masalah sosial di satu kota saja. Kota Jakarta, misalnya, pelajar dan mahasiswi juga banyak yang menekuni profesi ini dengan berbagai alasan. Persoalan ekonomi keluarga menjadi alasan yang umum dipunyai pekerja seks komersil perempuan ini. Tidak hanya malam hari seperti lazimnya di Braga. Pelajar, sebut saja ayam abu-abu, mencari dan melayani pelanggannya sepulang dari sekolah mereka.
Usai berdiskusi tentang pariwisata di Jawa Barat (26/5) saya mewawancara insan pariwisata di Bandung mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Rina (27) berpendapat bahwa pelacuran di Braga, Bandung, baiknya dibuat lokalisasi yang legal. Biar lebih teratur ketimbang mangkal secara liar di jalan-jalan. Pemerintah kota Bandung semestinya membuat regulasi yang jelas untuk menangani masalah sosial ini. Mengurangi jumlah pekerja seks bukan perkara mudah. Karena siapapun yang menangani masalah ini selalu dihadapkan pada pertanyaan dari para pekerja seks komersil, “Mana lowongan pekerjaannya untuk saya?”
Fakta inilah yang saya hadapi ketika bertatap muka dengan pekerja seks komersil yang tidak terlokalisasi di kawasan Braga. Adalah Desi, nama panggilannya, perempuan asal Subang ini mencoba mengadu nasib di kota Bandung dengan bekerja malam sebagai pekerja seks komersil. Berulang kali kena tangkap aparat dan mendapat binaan menjahit di tempat rehabilitasi perempuan. Berulang kali juga dia menjajakan diri sebagai pemuas nafsu berahi lelaki malam yang menawarkan sejumlah uang padanya.
Desi mengaku tidak punya keahlian khusus, dan mencari pekerjaan pun sulitnya minta ampun hanya karena pendidikannya yang sampai sekolah menengah pertama. Latar belakang ekonomi keluarganya menjadi alasan Desi menjadi penjaja seks komersil di Bandung. Dan tidak hanya di kawasan Braga saja dia beroperasi menjaring pelanggan. Dia pernah mangkal di jalan Jenderal Sudirman, dekat kawasan tempat hiburan malam di sana.
Jawaban serupa juga ditemui Rina ketika sengaja bertanya kepada pekerja seks komersil di kawasan Saritem. Malah, banyak di antara mereka yang setengah paksa menuruti orang tua mereka untuk menjadi pekerja seks komersil di usia remaja. Tak ayal lagi bertujuan menopang biaya hidup keluarganya di kampung halaman.
Menenggarai kenyataan ini, Rina mengatakan “sebaiknya para pekerja seks itu dilokalisasikan di suatu tempat secara legal, dan jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini untuk mencegah pengaruh negatif kepada anak-anak. Bagaimana anak-anak mendapat pendidikan dan perkembangan psikologis yang baik bila lingkungannya mendidik anak-anak seperti itu secara tidak langsung. Regulasi dari pemerintah mengenai pelacuran ini akan mengatur batasan umur pekerja seks komersilnya, termasuk konsumennya. Sehingga anak-anak di bawah usia tidak akan terjerumus kepada seks komersil. Regulasi ini juga diharapkan mengatur ukuran kesehatan pekerja seks, sehingga berdampak pada pencanangan cegah penyebaran penyakit HIV/AIDS. Akan tetapi masalahnya menurut pemaparan Rina, “masyarakat kita tidak open minded,” kata Rina dengan heran.
Emme mengatakan kepada saya mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Opini seorang mahasiswi pariwisata ini hampir senada dengan pendapat Rina, bahwa peran pemerintah kota Bandung dalam mengelola kawasan Braga berkaitan dengan fenomena seks komersil di sana. Emme sangat tidak setuju dengan praktik seks komersil di sana, lebih karena pekerja seks komersil di sana banyak dilakukan oleh remaja di bawah umur. Usia muda yang semestinya mengenyam pendidikan untuk masa depannya sendiri di tengah masyarakat. Emme sangat menyayangkan apabila kawasan Braga digunakan sebagai pangkalan pekerja seks komersil atau sarana seks bebas. Braga merupakan salah satu tempat tujuan wisata domestik maupun wisatawan asing, dan berpotensi sebagai salah satu heritage tourism. Dia mengatakan, untuk membenahi tata kota dan fungsinya dibutuhkan regulasi dari pemerintah kota Bandung untuk menertibkan kawan Braga dari praktik seks komersil. Namun memang perlu proses yang tidak sebentar untuk membenahi kawasan Braga menjadi heritage tourism. “Bukankah para psk itu bisa diberdayakan menjadi guide tour di kawasan itu. Sehingga terbuka lapangan pekerjaan yang positif bagi mereka sendiri. Dan pekerjaan mereka menjadi sebuah promosi wisata ke luar”.
Yudi (28 tahun), karyawan swasta di Bandung, mengaku pernah menyantap kenikmatan seks dari pekerja seks di kawasan Braga pada tahun 2000. dari keterangan yang diungkapkan kepada saya. Pekerja seks komersil di sana bukan saja perempuan dewasa atau perempuan cukup umur saja, akan tetapi mahasiswi dan pelajar sekolah menengah umum. Alasan mahasiswi dan pelajar menjalani profesi itu karena uang. Uang untuk hidup, untuk sekolah dan atau untuk biaya kuliah. Waktu itu Yudi masih membayar tarif yang cukup murah ketimbang sekarang ini yang mencapai jutaan rupiah per malam. Padahal pada tahun 2000 tarif perempuan malam tidak mencapai satu juta rupiah dalam kontrak sort time. Jalan Braga sekarang berfungsi ganda. Kawasan heritage tourism dan wisata tubuh. Meski polisi pamong praja secara rutin melakukan operasi penertiban, para pekerja seks komersil tetap saja mangkal di sana, bahkan menjadi subterminal pelacuran bagi new entry dari luar kota Bandung, karena mereka yang sudah lama pindah pangkalan ke kawasan Jalan Jenderal Sudirman. (Teks dan foto oleh A. Firmansah. Dari Berbagai Sumber)
Saturday, 20 October 2007
Pantai Pangandaran di Ciamis, Jawa Barat
Kawasan Pantai Pangandaran masih diminati wisatawan asing rupanya. Meski sempat disapu air laut pada tanggal 17 Juli 2006 yang lalu, kini pantai itu sudah hidup kembali dan menyambut setiap tamu yang datang dengan senyuman.
Bila hendak ke Pantai Pangandaran. Tentu saja ada beragam cara untuk sampai ke sana. Dengan sepeda motor, mobil, atau bahkan kereta api juga bisa. Akan tetapi kendaraan yang dipakai memakan waktu tempuh yang berbeda, dan berbeda pula pemandangan alam yang bisa dinikmati.
Jarak tempuh dari Jakarta ke Pangandaran menghabiskan waktu delapan jam. Grup musik Naif kali pertama manggung di Boulevard Pangandaran pada tanggal 10 Juli 2007 mengatakan “Gue suka pantai,” di hadapan penonton yang merupakan masyarakat sekitar Pangandaran dan wisatawan. Sebuah acara yang digelar oleh Dirjen Promosi Depbudpar RI dengan tajuk “Pangandaran Tersenyum: Kenali Negerimu…Cintai Negerimu.”
Pantai Pangandaran terbagi atas beberapa kawasan wisata. Begitu anda masuk ke Pangandaran, anda berada di kawasan wisata Pantai Barat Pangandaran. Di mana tempat penginapan yang nyaman dan terjangkau harganya menghadap pantai selatan. Ada juga Pantai Timur Pangandaran. Jaraknya hanya sepuluh menit bila menggunakan sepeda. Sambil menikmati pemandangan pantai anda juga dapat melihat pedagang souvenir khas pantai, seperti kalung, gelang, hiasan dinding, bahkan gantungan kunci dengan bahan dasarnya dari dasar laut selatan.
Di Pantai Timur, anda akan menemukan sebuah Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sebuah pusat jual beli ikan hasil tangkapan nelayan Pangandaran yang diangkut langsung dari perahunya pagi itu juga. Restoran makanan laut dengan beragam rasa dan suasana yang ditawarkan memberi anda pilihan sesuai dengan selera. Juga Oleh-Oleh ikan laut juga dapat dibeli langsung di dekat restoran itu.
Namun sebelum anda ke Pantai Timur Pangandaran. Ada satu tempat yang anda lewatkan, yaitu Kawasan Cagar Alam. Di Cagar Ala mini, suasana hutan tropis yang dihuni oleh orang utan dapat ditemui. Di beberapa bagian kawasan ini sudah menjadi langganan shooting sinetron silat. Lalu anda coba berjalan kea rah selatan kawasan ini. Di sana anda akan menemukan pantai dengan pasirnya yang putih. Makanya penduduk di Pangandaran menamakan pantai itu “Pantai Pasir Putih”. Tapi, jangan kaget. Ombak di sini lebih besar dan arus balik di bawahnya lebih besar, oleh karena itu tidak seorang pun diperbolehkan untuk berenang di Pantai Pasir Putih.
Satu lagi yang menarik di kawasan ini. Yaitu dermaga tua yang berumur puluhan tahun. Konon, dermaga ini pernah menjadi dermaga besar di pantai selatan. Namun karena evolusi alam, dermaga ini sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Tapi, jangan kuatir, berkunjung dengan membawa sebuah kamera saku saja akan memberi kesan tersendiri. Karena tidak seorang pun yang tidak mau berfoto-foto bersama kawan atau keluarga di dermaga tua ini.
***
Kawasan wisata Pangandaran tidak hanya Pantai Barat dan Timur saja. Anda juga bisa menggunakan speedboat, dengan waktu tempuh dua jam, anda bisa tiba di Batu Hiu. Wisatawan dari Belanda senang makan bersama di atas tikar. Tentu saja anda juga bisa melakukan hal yang sama, dan berfoto bersama di atas batu besar yang menjorok ke laut, dan di bawahnya ombak-ombak besar silih berganti menerjang batu besar yang anda injak. Dari sana anda bisa meneruskan perjalanan ke Grand Canyon dengan waktu tempuh yang sama.
Wisatawan yang dating ke Pangandaran tidak cukup menginap di hotel atau cottage hanya dua malam saja untuk mengunjungi tempat-tempat indah dan alami itu. Thijs de Faster, seorang freelancer di sebuah travel agent, mengatakan kepada saya bahwa Pangandaran dengan objek wisata yang ada sangat diminati oleh wisatawan dari Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Australia, juga Belanda.
Mereka bisa menginap 2 – 3 hari di pangandaran untuk bisa menikmati suasana nyaman di kawasan wisata pangandaran ini. Bagi mereka yang berwisata secara individu, tidak berangkat sekeluarga, lebih banyak memilih mengunjungi wisata pantai Batu Karas.
Perjalanan ke pantai Batu Karas membutuhkan waktu tempuh satu setengah jam dengan transportasi darat. Bila menggunakan speedboat membutuhkan waktu dua jam untuk tiba di pantai Batu Karas. Menurut Thijs, bisanya mereka bermalam di Batu Karas. Selain karena pantainya lebih alami dan tenang. Tempat hiburan malam dan penginapan juga tersedia di sana.
Banyak pilihan memang bagi anda yang ingin menikmati pantai di Pangandaran. Namun ada satu lagi tempat wisata yang tak kalah menarik dan mengesankan untuk anda kunjungi bersama teman, atau keluarga. Sebuah tempat wisata yang berada di ketinggian ratusan meter dari permukaan laut. Tempat itu adalah Lembah Putri.
Bila anda hendak ke Lembah Putri. Jarak tempuhnya tidak begitu lama karena masih berada di kawasan wisata Pangandaran. Lembah Putri akan anda temukan sepuluh kilometer sebelum anda memasuki pintu masuk Pantai Pangandaran. Akan tetapi anda perlu menggunakan kendaraan roda empat yang tangguh untuk masuk ke Lembah Putri. Lembah ini dikelola secara mandiri oleh seorang pengusaha asal Tasikmalaya.
Bila anda memang membawa kendaraan roda empat yang tangguh. Anda bisa masuk ke Lembah Putri dengan lancar. Selain karena jalannya yang menukik ke atas, jalan yang berbelok-belok membutuhkan mesin kendaraan yang baik.
Tapi jangan urung dulu. Selama anda naik ke lapangan parkir dan cottage di Lembah Putri, pemandangan indah dan memukau memberi anda kesan luar biasa. Pantai Barat Pangandaran dan gugusan pantai selatan Jawa Barat dapat anda lihat semuanya dengan mata telanjang. Tiba di lapangan parkir, anda pasti ingin segera turun dari kendaraan pribadi anda untuk menikmati kesejukan udara dan pemandangan yang sangat indah. Bukan hanya itu, suasana romatik di tempat ini dapat segera anda rasakan saat angin laut selatan menyapa wajah anda.
Anda ingin melihat pantai dan hutan tropis Kabupaten Ciamis yang masih perawan? Anda bisa naik ke atas lagi dengan berjalan kaki. Ada empat pintu masuk ke puncak Lembah Putri, semuanya harus dilalui dengan melewati anak tangga dari batu alam. Setelah tiba di atas, anda akan berjalan di puncak bukit seperti anda berjalan di Tembok China. Ya, tentu saja. Anak tangga yang anda lalui dengan susah payah itu segera dibayar dengan jalan beralaskan batu alam dan berdinding setinggi satu meter dengan batu alam yang sama.
Pendopo kecil akan anda temui juga setelah melalui 5 atau sepuluh anak tangga setiap seratus meter yang anda lalui. Dari pendopo inilah anda dapat beristirahat setelah menaiki anak tangga tadi. Di sini anada dapat melihat ke selatan di mana gugusan pantai dan laut selatan nampak jelas dan begitu dekat dengan anda. Anda ingin melihat hutan tropis, gunung atau jalan raya yang anda lalui sebelum sampai ke Pantai Pangandaran? Tengoklah ke belakang anda. Di sana terbentang luas gunung dan hutan-hutan perawan Jawa Barat. Anda ingin berada lebih tinggi lagi, teruskan perjalanan anda ke arah Barat, akan anda temukan sebuah pendopo dari batu dan atapnya bisa anda singgahi untuk menikmati segarnya udara dan pemandang yang lebih luas lagi.
Memang tidak banyak yang singgah di Lembah Putri. Namun suasana tenang dan damai dapat anda peroleh dengan leluasa bersama orang terdekat anda. Birunya langit, hijaunya gunung dan bukit-bukit, bahkan putihnya pasir pantai dapat anda lihat di atas pendopo ini. Iing, seorang wanita berumur 60-an asal kota Bandung, singgah di Lembah Putri bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Dia mengatakan Lembah Putri memberikan keindahan tersendiri, selain berada di atas pasir pantai Pangandaran. Di sana ia menemukan kebesaran Tuhan, Sang Pencipta alam raya yang indah ini. Dia merasakan kebersamaan keluarganya di sana. Apalagi melihat cucu-cucu mereka terlihat sangat gembira melihat ombak-ombak yang pecah di pantai. Juga perahu-perahu yang terlihat sangat kecil di laut sana.
Kawasan wisata Pantai Pangandaran memberikan nilai lebih. Tidak hanya sekedar kenyaman dan keindahan saja. Berwisata di kawasan Pantai Pangandaran dihadapkan pada beragam pilihan suasana alam yang alami, juga dapat bercengkrama dengan masyarakat nelayan Pangandaran. Setelah setahun bencana tsunami dilewatkan, kawasan Pantai Pangandaran masih menjadi sasaran perburuan wisatawan domestik dan luar negeri karena alamnya masih alami.
(Penulis: Argus Firmansah, wartawan lepas di Bandung)
Bila hendak ke Pantai Pangandaran. Tentu saja ada beragam cara untuk sampai ke sana. Dengan sepeda motor, mobil, atau bahkan kereta api juga bisa. Akan tetapi kendaraan yang dipakai memakan waktu tempuh yang berbeda, dan berbeda pula pemandangan alam yang bisa dinikmati.
Jarak tempuh dari Jakarta ke Pangandaran menghabiskan waktu delapan jam. Grup musik Naif kali pertama manggung di Boulevard Pangandaran pada tanggal 10 Juli 2007 mengatakan “Gue suka pantai,” di hadapan penonton yang merupakan masyarakat sekitar Pangandaran dan wisatawan. Sebuah acara yang digelar oleh Dirjen Promosi Depbudpar RI dengan tajuk “Pangandaran Tersenyum: Kenali Negerimu…Cintai Negerimu.”
Pantai Pangandaran terbagi atas beberapa kawasan wisata. Begitu anda masuk ke Pangandaran, anda berada di kawasan wisata Pantai Barat Pangandaran. Di mana tempat penginapan yang nyaman dan terjangkau harganya menghadap pantai selatan. Ada juga Pantai Timur Pangandaran. Jaraknya hanya sepuluh menit bila menggunakan sepeda. Sambil menikmati pemandangan pantai anda juga dapat melihat pedagang souvenir khas pantai, seperti kalung, gelang, hiasan dinding, bahkan gantungan kunci dengan bahan dasarnya dari dasar laut selatan.
Di Pantai Timur, anda akan menemukan sebuah Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sebuah pusat jual beli ikan hasil tangkapan nelayan Pangandaran yang diangkut langsung dari perahunya pagi itu juga. Restoran makanan laut dengan beragam rasa dan suasana yang ditawarkan memberi anda pilihan sesuai dengan selera. Juga Oleh-Oleh ikan laut juga dapat dibeli langsung di dekat restoran itu.
Namun sebelum anda ke Pantai Timur Pangandaran. Ada satu tempat yang anda lewatkan, yaitu Kawasan Cagar Alam. Di Cagar Ala mini, suasana hutan tropis yang dihuni oleh orang utan dapat ditemui. Di beberapa bagian kawasan ini sudah menjadi langganan shooting sinetron silat. Lalu anda coba berjalan kea rah selatan kawasan ini. Di sana anda akan menemukan pantai dengan pasirnya yang putih. Makanya penduduk di Pangandaran menamakan pantai itu “Pantai Pasir Putih”. Tapi, jangan kaget. Ombak di sini lebih besar dan arus balik di bawahnya lebih besar, oleh karena itu tidak seorang pun diperbolehkan untuk berenang di Pantai Pasir Putih.
Satu lagi yang menarik di kawasan ini. Yaitu dermaga tua yang berumur puluhan tahun. Konon, dermaga ini pernah menjadi dermaga besar di pantai selatan. Namun karena evolusi alam, dermaga ini sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Tapi, jangan kuatir, berkunjung dengan membawa sebuah kamera saku saja akan memberi kesan tersendiri. Karena tidak seorang pun yang tidak mau berfoto-foto bersama kawan atau keluarga di dermaga tua ini.
***
Kawasan wisata Pangandaran tidak hanya Pantai Barat dan Timur saja. Anda juga bisa menggunakan speedboat, dengan waktu tempuh dua jam, anda bisa tiba di Batu Hiu. Wisatawan dari Belanda senang makan bersama di atas tikar. Tentu saja anda juga bisa melakukan hal yang sama, dan berfoto bersama di atas batu besar yang menjorok ke laut, dan di bawahnya ombak-ombak besar silih berganti menerjang batu besar yang anda injak. Dari sana anda bisa meneruskan perjalanan ke Grand Canyon dengan waktu tempuh yang sama.
Wisatawan yang dating ke Pangandaran tidak cukup menginap di hotel atau cottage hanya dua malam saja untuk mengunjungi tempat-tempat indah dan alami itu. Thijs de Faster, seorang freelancer di sebuah travel agent, mengatakan kepada saya bahwa Pangandaran dengan objek wisata yang ada sangat diminati oleh wisatawan dari Singapura, Malaysia, Jepang, Korea, Australia, juga Belanda.
Mereka bisa menginap 2 – 3 hari di pangandaran untuk bisa menikmati suasana nyaman di kawasan wisata pangandaran ini. Bagi mereka yang berwisata secara individu, tidak berangkat sekeluarga, lebih banyak memilih mengunjungi wisata pantai Batu Karas.
Perjalanan ke pantai Batu Karas membutuhkan waktu tempuh satu setengah jam dengan transportasi darat. Bila menggunakan speedboat membutuhkan waktu dua jam untuk tiba di pantai Batu Karas. Menurut Thijs, bisanya mereka bermalam di Batu Karas. Selain karena pantainya lebih alami dan tenang. Tempat hiburan malam dan penginapan juga tersedia di sana.
Banyak pilihan memang bagi anda yang ingin menikmati pantai di Pangandaran. Namun ada satu lagi tempat wisata yang tak kalah menarik dan mengesankan untuk anda kunjungi bersama teman, atau keluarga. Sebuah tempat wisata yang berada di ketinggian ratusan meter dari permukaan laut. Tempat itu adalah Lembah Putri.
Bila anda hendak ke Lembah Putri. Jarak tempuhnya tidak begitu lama karena masih berada di kawasan wisata Pangandaran. Lembah Putri akan anda temukan sepuluh kilometer sebelum anda memasuki pintu masuk Pantai Pangandaran. Akan tetapi anda perlu menggunakan kendaraan roda empat yang tangguh untuk masuk ke Lembah Putri. Lembah ini dikelola secara mandiri oleh seorang pengusaha asal Tasikmalaya.
Bila anda memang membawa kendaraan roda empat yang tangguh. Anda bisa masuk ke Lembah Putri dengan lancar. Selain karena jalannya yang menukik ke atas, jalan yang berbelok-belok membutuhkan mesin kendaraan yang baik.
Tapi jangan urung dulu. Selama anda naik ke lapangan parkir dan cottage di Lembah Putri, pemandangan indah dan memukau memberi anda kesan luar biasa. Pantai Barat Pangandaran dan gugusan pantai selatan Jawa Barat dapat anda lihat semuanya dengan mata telanjang. Tiba di lapangan parkir, anda pasti ingin segera turun dari kendaraan pribadi anda untuk menikmati kesejukan udara dan pemandangan yang sangat indah. Bukan hanya itu, suasana romatik di tempat ini dapat segera anda rasakan saat angin laut selatan menyapa wajah anda.
Anda ingin melihat pantai dan hutan tropis Kabupaten Ciamis yang masih perawan? Anda bisa naik ke atas lagi dengan berjalan kaki. Ada empat pintu masuk ke puncak Lembah Putri, semuanya harus dilalui dengan melewati anak tangga dari batu alam. Setelah tiba di atas, anda akan berjalan di puncak bukit seperti anda berjalan di Tembok China. Ya, tentu saja. Anak tangga yang anda lalui dengan susah payah itu segera dibayar dengan jalan beralaskan batu alam dan berdinding setinggi satu meter dengan batu alam yang sama.
Pendopo kecil akan anda temui juga setelah melalui 5 atau sepuluh anak tangga setiap seratus meter yang anda lalui. Dari pendopo inilah anda dapat beristirahat setelah menaiki anak tangga tadi. Di sini anada dapat melihat ke selatan di mana gugusan pantai dan laut selatan nampak jelas dan begitu dekat dengan anda. Anda ingin melihat hutan tropis, gunung atau jalan raya yang anda lalui sebelum sampai ke Pantai Pangandaran? Tengoklah ke belakang anda. Di sana terbentang luas gunung dan hutan-hutan perawan Jawa Barat. Anda ingin berada lebih tinggi lagi, teruskan perjalanan anda ke arah Barat, akan anda temukan sebuah pendopo dari batu dan atapnya bisa anda singgahi untuk menikmati segarnya udara dan pemandang yang lebih luas lagi.
Memang tidak banyak yang singgah di Lembah Putri. Namun suasana tenang dan damai dapat anda peroleh dengan leluasa bersama orang terdekat anda. Birunya langit, hijaunya gunung dan bukit-bukit, bahkan putihnya pasir pantai dapat anda lihat di atas pendopo ini. Iing, seorang wanita berumur 60-an asal kota Bandung, singgah di Lembah Putri bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Dia mengatakan Lembah Putri memberikan keindahan tersendiri, selain berada di atas pasir pantai Pangandaran. Di sana ia menemukan kebesaran Tuhan, Sang Pencipta alam raya yang indah ini. Dia merasakan kebersamaan keluarganya di sana. Apalagi melihat cucu-cucu mereka terlihat sangat gembira melihat ombak-ombak yang pecah di pantai. Juga perahu-perahu yang terlihat sangat kecil di laut sana.
Kawasan wisata Pantai Pangandaran memberikan nilai lebih. Tidak hanya sekedar kenyaman dan keindahan saja. Berwisata di kawasan Pantai Pangandaran dihadapkan pada beragam pilihan suasana alam yang alami, juga dapat bercengkrama dengan masyarakat nelayan Pangandaran. Setelah setahun bencana tsunami dilewatkan, kawasan Pantai Pangandaran masih menjadi sasaran perburuan wisatawan domestik dan luar negeri karena alamnya masih alami.
(Penulis: Argus Firmansah, wartawan lepas di Bandung)
Subscribe to:
Posts (Atom)