Kembangnya Kota Bandung di Malam Hari
Lapangan pekerjaan masih terbilang sempit di Bandung, padahal banyak masyarakat di Jawa Barat mengharapkan kota Bandung menjadi pilihan alternatif setelah Jakarta, khususnya bagi perempuan. Di masa sulit seperti ini banyak perempuan dibebani tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mencari nafkah. Akhirnya perempuan dihadapkan pada kenyataan betapa sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak, apalagi mereka mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat dasar saja.
“Banting stir!” itulah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan muda yang datang ke kota Bandung. Pelajar hingga mahasiswa pun banyak yang bekerja sambil mencari ilmu. Tentu saja ada yang bekerja secara layak dan banyak juga yang tidak layak – berperilaku asusila secara terselubung. Namun demikian mereka yang bekerja asusila dengan menjual diri tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Karena memang lapangan pekerjaan yang sempit bagi mereka yang memiliki keahlian terbatas. Maka pilihan terakhir pun diambilnya, pekerja seks komersil.
Saya melakukan riset panjang mengenai seks bebas di wilayah Bandung dan sekitarnya. Awalnya memang seks bebas karena pergaulan anak-anak muda jaman sekarang. Ada yang karena taruhan bersama kawan-kawan di lingkungan kampus atau tempat kost-nya, sehingga yang kalah taruhan harus “mencoba” tidur dengan laki-laki yang menjadi piala bergilirnya. Laki-laki macam ini tentu saja memanfaatkan kesempatan gratis untuk menikmati hubungan intim tanpa harus membayar. Dan yang lebih menguntungkan, adalah bahwa si perempuan itu bukan psk, tapi perempuan dengan rasa ingin tahu yang lebih terhadap pengalaman seks atau hubungan intim tanpa pengetahuan orang tua mereka.
Dari sanalah muncul fenomena dan kini sudah menjadi budaya, yaitu seks bebas. Komunitas anak muda menamakan mereka “Cewek Bispak”. Perempuan yang bisa diajak berhubungan intim atas dasar rasa saling suka atau coba-coba, dan tanpa ada komitmen atau perjanjian untuk membayar upah kepuasannya.
Beberapa komunitas kecil memang mempertahankan budaya seks bebas itu sebagai gaya hidup pergaulan di antara mereka. Sebagian besar lagi terjun ke dunia seks komersil, seperti yang dialami oleh, sebut saja Daini, seorang mahasiswi sebuah universitas terkemuka di Bandung dan Jatinangor, Sumedang. Ketika ditanya mengapa menjadi komersil? Jawabnya sederhana saja "Saya bukan pelacur kok. Saya dan teman-teman memang suka melakukan seks dengan cowok yang kami suka." Dan menurut Hendrik, 23 thn, warga Desa Jatiroke, Sumedang, "Tempat kost di kawasan Jatinangor, Sumedang, banyak digunakan untuk seks bebas mahasiswa dan mahasiswi di kawasan itu. Trik mereka adalah dengan menggandakan kunci kamar. Jadi, mereka tidak dicurigai masuk ke kamar perempuan atau laki-lakinya. Padahal di dalam kamar sudah menunggu pasangannya," papar Hendrik. Tempat kost sebagai sarana seks bebas sudah dianggap lazim, meski warga sekitar sudah mencela perilaku kalangan terpelajar di sana. Perilaku ini masih dianggap sulit karena pemilik kost kebanyakan warga Jakarta dan Bandung yang membebaskan tempat kostnya asalkan bisnis kost nya tatp berjalan. Sejumlah daerah malah dibiarkan karena unsur pemerintah setempat mendapat uang bising dari mahasiswa/mahasiswi yang sudah biasa berseks bebas di sana. Budaya ini berkembang dari semenjak kampus terbesar di kawasan Jatinangor memindahkan sejumlah fakultas dari Bandung ke Jatinangor.
Kota Bandung sudah menjadi kota metropilitan, layaknya Jakarta sekarang. Gaya hidup masyarakat pendatang, urban kota Bandung, turut membentuk budaya mirip kosmopolitan. Ciri khas kota metropolis adalah tumbuhnya berbagai komunitas metroseksual, seperti gay, lesbian, homo. Kota metropolis sudah menjadi target masyarakat miskin untuk mencari nafkah. Akan tetapi karena faktor pendidikan yang minim dan keahlian profesi yang minim menyebabkan sebagian masyarakat di kabupaten menjadi masyarakat urban di daerah metropolis. Bandung, dianggap lebih mudah terjangkau oleh masyarakat di Jawa Barat setelah DKI Jakarta. Tak heran banyak perempuan sengaja datang ke Bandung menjadi pekerja seks komersil (PSK).
Mengapa Bandung dibanjiri perempuan dari kota/kabupaten di Jawa Barat, datang ke Bandung sebagai pekerja seks komersil setelah gagal memperoleh pekerjaan yang layak? Rupanya menurut sejarah, kota Bandung sempat dinamai Bandung Excelcior (1856), The Sleeping Beauty (1884), De Bloem der Indische Bergsteden (1896), Parijs van Java (1920), The Garden of Allah (1921), Intellectuele Centrum van Indiƫ (1921), Staatskundig Centrum van Indiƫ (1923), Europe in de Tropen (1936) dan Kota Asia Afrika (1955). Daya tarik inilah yang memancing perempuan dari daerah pelosok untuk datang ke kota pariwisata terbesar di Jawa Barat ini.
Hal lain dapat dilihat pada sejarah keemasan kota Bandung pada tahun1920 - 1930, di mana Bandung menjadi tempat pelesir bagi wisatawan bangsa Eropa. Bandung menjadi salah satu tempat favorit orang Eropa, terutama Braga weg atau Jalan Braga. Jalan Braga juga sempat mendapat julukan De meest Eropeesche winkelstraat van Indie (Kompleks Pertokoan paling terkemuka di Hindia Belanda). Sekarang, Jalan Braga menjadi terminal para pekerja seks komersil memang tidak mengherankan. Karena sejak jaman kolonial jalan itu sudah menjadi arena pelesiran orang-orang Eropa. Dan hingga kini masih berlangsung dengan sedemikian rupa. Kawasan Braga sedang dibersihkan dari praktik pelacuran. Namun daerah lain masih tetap melakukan bisnis perempuan malam. Hanya saja mereka lebih rapi dan tertib sehingga tidak terlalu mencolok.
Kawasan Jalan Gardujati memiliki Saritem. Sebuah lokalisasi yang paling senior di antara tempat-tempat mangkal para PSK di kota Bandung. Lokalisasi Saritem yang ditutup beberapa bulan yang lalu sebenarnya merupakan agenda Walikota Bandung, Dada Rosada, yang ingin membuat kota Bandung menjadi kota bermartabat dan religius di masa yang akan datang. Akan tetapi pangkalan liar PSK di Bandung tidak mampu ditertibkan dengan tuntas.
Pangkalan pekerja seks komersil nyatanya tersebar di kota Bandung. Sebut saja Ir. H. Djuanda (Dago), Jalan Dr. Setiabudi, Jalan Inggit Garnasih (Ciateul), Jalan Rd. Dewi Sartika, Jalan Moch. Toha, Jalan Jalan Cikapundung, Jalan Oto Iskandardinata (kawasan Pasar Baru), Jalan ABC, Jalan Alkateri, Jalan Braga, Jalan Suniaraja, Jalan Viaduct, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Lembong, Jalan Asia Afrika, Jalan Jenderal Sudirman. Jalan-jalan dengan nama pahlawan nasional itulah yang menjadi pangkalan pekerja seks komersil secara liar.
Lokalisasi yang terselubung atau tempat mangkal PSK secara liar melebihi jumlah PSK yang terorganisir di Saritem. Ini dapat dilihat pada pemandangan kota Bandung di malam hari. Meski Perda Kota Bandung tentang pelarangan lokalisasi pelacuran dikeluarkan, hanya tempat mangkal PSK mencolok saja yang ditertibkan. Malahan kawasan pekerja seks di Jalan Sudirman memiliki jaringan dengan pekerja seks di Jalan Braga. Menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, pekerja seks di jalan Sudirman seringkali rolling ke Jalan Braga. Selama Bulan Ramadhan 2007 saja banyak pekerja seks baru dengan umur belasan tahun yang mangkal di Jalan Braga. Yang mengherankan justru organisasi Islam tidak ada yang bertindak terhadap keadaan ini.
Kawasan Jalan Braga merupakan salah satu dari sekian banyak tempat mangkal PSK di kota Bandung. Mereka adalah pekerja seks komersil yang berasal dari pinggiran kota Bandung atau dari luar kota Bandung - daerah Pantura. Sebut saja, Garut, Tasik, Subang, dan Indramayu, dan kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Kawasan Jatinangor, kabupaten Sumedang, misalnya, tidak sedikit mahasiswi di kawasan institusi pendidikan di sana juga melakukan praktik seks komersil dengan lokalisasi terselubung di kompleks kost-kosan.
Bandung sebagai kembangnya kota besar di Jawa Barat merupakan aset pariwisata yang cukup besar dalam memberikan pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya tempat-tempat hiburan di Jalan Braga dan Jalan Jenderal Sudirman. Kawasan pekerja seks komersil di Bandung tidak hanya berada di pemukinan penduduk seperti Saritem. Kamar-kamar kos di sekitar kampus dan pusat perbelanjaan, sekolah juga cukup banyak. PSK di lingkungan ini tidak melakukannya secara terbuka, aktivitasnya terbungkus rapi oleh organisasi terselubung dengan banyak broker, hingga membentuk komunitas dengan kelas-kelasnya sendiri. Dan ini tidak tersentuh oleh media massa. Jaringan pemasaran komunitas di luar PSK hanya diketahui oleh para konsumennya saja.
Ayam Abu-abu (PSK berseragam Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), misalnya, menjadi lahan potensial untuk mengakomodasi kebutuhan pasar seks komersil para eksekutif atau mahasiswa di Bandung atau kota lain yang pelesir ke Bandung. Sama halnya dengan PSK yang berumur di atas remaja, Ayam Abu-abu juga banyak yang melakukannya sendiri-sendiri. Menurut beberapa user, mereka yang tidak menginduk pada satu jaringan pemasaran ayam abu-abu mengambil tempat mangkal di Mall-Mall atau caffe. Selain Ayam Abu-abu di pinggiran kota Bandung juga bermunculan ayam biru (PSK berseragam sekolah lanjutan tingkat pertama).
Pada praktiknya, mereka memang tidak mengenakan seragam sekolah dalam menjalankan profesinya, terkecuali mereka yang berusaha dan memasarkan diri secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, ayam abu-abu atau ayam biru ini tidak nampak sebagai PSK karena dilihat dari postur tubuh mereka tidak nampak sebagai anak remaja atau "abg" yang menjual diri.
Menurut pengamatan penulis, dari semua yang berprofesi sebagai PSK terselubung ini memiliki alasan yang beragam mengapa mereka melakukan praktik seks komersil. Secara umum dikategorikan menjadi dua alasan. Pertama, kebutuhan hidup dasar; untuk makan dan kebutuhan hidup dasar lainnya - ekonomi. Kedua, kebutuhan gaya hidup metropolis; misalnya untuk clubbing atau belanja pakaian dan aksesoris.
Praktik terselubung lainnya, adalah mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa kampus teridikasi melakukan praktik seks komersil atau seks bebas untuk hiburan pribadi. Dan lagi-lagi, mereka adalah individu-individu yang tidak memiliki rumah tinggal sendiri atau kos. Latar belakang mereka yang satu ini adalah cenderung untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang pemenuhan kebutuhan hidup dasar.
Lalu, siapa yang mengakomodasi praktik semacam ini? Yang jelas adalah mereka sendiri yang disebabkan oleh rasa kekurangan atas biaya hidup di kota Bandung atau untuk membiayai sekolah saudaranya di kampung halaman. Kedua, praktik ini menjadi budaya dikarenakan ada user atau konsumen mereka. Oleh sebab itulah, siapa pun tidak bisa menyalahkan mereka yang berprofesi di sana atau pun mereka yang menggunakan mereka untuk kepuasan seks pribadinya. Yang harus dibenahi adalah kesadaran semua pihak untuk sama-sama memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat.
Masalah ini rupanya disebabkan oleh meningkatnya angka kemiskinan di Jawa Barat tahun ini. Dalam artikel di Kompas, tertulis “Di balik berita laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat, naiknya laju pertumbuhan ekonomi Jabar dari 5 persen menjadi 6,2 persen, terdapat pula berita tidak sedap, yaitu angka kemiskinan di Jabar tahun ini ternyata meningkat dari 28,29 persen menjadi 29,05 persen. Angka ini berada di atas angka kemiskinan nasional yang mencapai sekitar 18 persen”. Namun demikian, menurut riset, pelacuran di Bandung lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup anak-anak muda kota Bandung karena seks bebas sudah menjadi budaya masyarakat urban yang sudah tidak lagi memandang tabu terhadap seks bebas atau seks pra-nikah. Budaya ini sudah berkembang di kalangan pelajar, mahasiswa, dan juga pengangguran.
Jalan Braga – Terminal Pekerja Seks Komersil di Bandung
Jalan Braga tidak muncul begitu saja. Kawasan ini memiliki latar belakang historis yang menarik sebagai wisata sejarah kota Bandung. Koffie Pakhuis adalah sebuah gedung pengemasan kopi di Jawa Barat. Jalan Raya Pos sangat penting sebagai sarana pengiriman hasil bumi. Jalur penghubung antara kedua tempat tersebut adalah jalan setapak berlumpur yang biasa dilalui oleh pedati kuda dan dikenal dengan nama Pedati Weg (Jalan Pedati). Jalan inilah yang kelak dikenal bernama Jalan Braga.
Jalan Pedati (kini Jalan Braga) berkembang secara lambat, dari jalan pintas yang berlumpur menjadi kawasan pemukiman. Pada tahun 1874, terdapat enam atau tujuh rumah permanen, dan beberapa warung beratapkan rumbia. Obor adalah alat penerangan waktu itu. Rumah-rumah batu tersebut menempati kapling-kapling yang luas sehingga antara bangunan yang satu dengan yang lain tidak berimpitan. Halaman depan pun luas dan bisa didapati adanya gudang-gudang atau paviliun di samping bangunan rumah-rumah tersebut.
Nama "Braga" sendiri menimbulkan beberapa kontroversi. Beberapa sumber sejarah mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Pemilihan nama "Braga" oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi (nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman). Sedangkan dalam Sastra Sunda, “Baraga” adalah nama jalan di tepi sungai, sehingga berjalan menyusuri sungai disebut “ngabaraga”. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), kemudian tersohor ke seluruh Hindia Belanda dan Eropa. Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan “ngabaraga” tadi berubah menjadi “ngabar raga” (pamer tubuh atau pasang aksi).
Memang di masa-masa sebelum PD II, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Kata “deren” dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata “paraderen” yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga.
Tradisi itu rupanya terus berlangsung hingga saat ini. Banyak masyarakat asli Bandung dan pendatang yang jual tampang di kawasan jalan ini, bahkan wisatawan asing tidak mau ketinggalan. Karena jalan ini termasuk kawasan wisata kota Bandung.
Pada suatu malam penulis mengamati kawasan ini yang terkenal sebagai terminal PSK di kota Bandung. Sekira pukul 22.00 wib perempuan-perempuan belia muncul satu-satu dari berbagai arah. Kaki-kaki indah itu melangkah ke satu pintu, satu shelter, sebut saja CP. Di sanalah semua bermula. Perjanjian ekonomi antarperempuan kelas bawah mengadu nasib dan keberuntungan. Sumber ekonomi yang diyakini dapat menopang hidup mereka dan keluarga mereka yang menunggu di kampung halamannya. Menopang hidup pada malam hingga fajar menyingsing.
Kemudian, satu per satu meninggalkan shelter dan mulai menempati posisi masing-masing. Ada yang menempati pintu parkir CP atau di kios-kios rokok sambil menunggu pelanggan datang. PKL yang mangkal tidak hanya tukang rokok saja di sana, ada juga tukang nasi soto, bubur ayam, gorengan, atau nasi goreng. Mereka biasanya makan nasi soto sebelum melayani pelanggan.
Perempuan-perempuan malam ini jarang yang datang sendirian. Banyak dari mereka diantar dan ditunggui lelaki dengan sepeda motor. Sebut saja lelaki ini sebagai “pendamping”, yaitu Lelaki yang selalu mengantarkan PSK ke kawansan Braga, dan selalu sigap membawa pergi PSK dari penangkapan oleh parat kepolisian ketika dirazia oleh polisi pamong praja. Mereka menunggu kawan perempuan, atau bahkan kekasih mereka itu hingga pagi. Ada juga lelaki dengan sepeda motornya itu berlaku sebagai marketing. Misalnya, antar jemput perempuan malam ke konsumen mereka atau menawarkan kawan perempuannya kepada mobil-mobil yang melaju lambat di kawasan itu.
Mereka yang dianggap senior menunggu sang pria idaman mereka di shelter itu. Di sini dapat dilihat perbedaan kelas berdasarkan senioritas, atau jam terbang sebagai pelayan tubuh lelaki malam. Dan penampilan atau kemasan mereka menentukan tarifnya. Mereka yang masih muda, di bawah umur bebas menentukan tarif tinggi karena faktor orisinalitas “barang”-nya. Pengalaman bermain tentu saja punya prioritas harga yang tinggi. Namun demikian, faktor umur yang bertambah dapat menurunkan nilai jual.
Dede, pedagang rokok asongan, biasa berjualan di kawasan jalan Braga sempat juga ditawari seorang pemain lama dengan harga murah sekali. Dede kontan menolak, bukan karena tak mau melayani kebutuhan order perempuan tua itu. Dede menceritakan, “kalau saya habiskan uang ladang usaha rokok saya untuk yang gituan, ngga bisa jualan lagi saya,” katanya sambil tertawa malu-malu. Lelaki muda, 20 tahun, yang lugu ini banyak tahu kejadian-kejadian di kawasan itu. Operasi penertiban oleh polisi di kawasan itu misalnya, pada malam itu pendamping siap melarikan perempuan-perempuan malam untuk sembunyi dari pengejaran aparat.
Pedagang asongan atau tukang parkir yang biasa mangkal di sana jarang mengatakan, sekali pihak polisi pamong praja melakukan razia pada malam hari di hari-hari tertentu sekalipun mereka lolos dibawa pengendara sepeda motor - pendampingnya. Ada juga yang tertangkap dan menginap di tahanan semalam, kemudian turun ke jalan lagi. Namun secara terselubung aparat kepolisian kota Bandung yang berpatroli malam sering datang ke kawasan itu untuk meminta “jatah” (Uang sogokan dari broker PSK di kawasan Braga).
Kawasan Braga memang potensial jadi tempat mangkal PSK untuk menjaring pelanggannya. Banyak tempat hiburan malam di sana. Sebut saja cafe-cafe musik, “Braga Weg”, “Braga Dangdut”, “Prima Billiard” yang baru dibuka lebih luas menembus hingga ke Jalan Braga yang semula hanya di Jalan Suniaraja beberapa bulan terakhir. Atau “Ibiza pool and lounge”, juga “Caesar Palace” (CP). Berbeda dengan CP, perempuan malam di sana tidak tergolong PSK, karena perempuan di sana hanya “dipakai” oleh anggota CP atau pengunjung tempat hiburan tersebut.
Selepas pukul sepuluh malam, suasana di kawasan Braga seperti pasar perempuan malam saja. Remaja dan perempuan muda mengisi celah-celah kawasan Braga dengan menebarkan pesona tubuhnya yang seksi dan glamor itu.
Pasar, siapapun boleh datang untuk membelanjakan uangnya. Siapapun boleh berjualan di sana, baik jualan barang jajanan makanan murah juga barang hidup yang dapat memuaskan kebutuhan seks lelaki malam tentunya. Sebut saja Apih, lelaki separuh baya, siang hari menjadi tukang becak di jalan Viaduct. Malam harinya, dia berlaku sebagai penghubung atau marketing untuk langganan-langganan perempuan muda yang didampinginya dari Jakarta. Apabila Apih sudah mulai kejar tayang, becaknya siap sedia membawa perempuan muda itu untuk wisata heritage dengan mengelilingi kawasan Braga (Jalan Suniaraja, Viaduct, Perintis Kemerdekaan, Braga, Lembong) untuk mencari pelanggan di jalan-jalan, atau mengantar PSK ke hotel terdekat di kawasan itu.
Apih mengatakan kepada saya, bahwa perempuan-perempuan ini banyak yang berasal dari daerah Garut dan Tasikmalaya. Dengan sikap yang tertutup, Apih mengatakan tidak mengenal dekat perempuan-perempuan itu. “Saya hanya menawarkan kalau tamu datang kepada saya. Mereka, pelanggan, bebas memilih mana yang disukai. Kalau cocok......ya......silahkan bawa.” Begitu katanya dengan santun sembari pamit ketika sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya.
Konsumen perempuan malam di kawasan Braga ini tidak hanya lelaki dewasa saja. Mahasiswa atau remaja juga banyak yang sering menggunakan jasa seks perempuan-perempuan malam ini. Lelaki dewasa biasanya memilih perempuan malam yang sudah berpengalaman, dan biasanya memilih perempuan yang mangkal di dalam CP atau yang rutin mangkal di Jalan Braga.
Kejadiannya, perempuan diambil dari dalam CP dan setelah dipakai dikembalikan lagi ke sana melalui pintu masuk yang berada di jalan Suniaraja. Mereka yang diambil dari depan Landmark juga diturunkan dari mobilnya di sana lagi. Atau beberapa pelanggan yang sembunyi-sembunyi menurunkan perempuan malamnya di jalan yang sepi.
Pelajar atau mahasiswa biasanya tidak datang sendirian. Satu mobil sedan saja bisa berenam atau berlima. Dan jasa layanan seks komersil itu bisa berlangsung di kawasan itu juga. Setelah adu tawar harga, praktik seks komersil dilakukan di dalam mobil dalam waktu beberapa jam saja. Sort-time, maksudnya. Mereka yang mapan lazimnya menggunakan jasa seks komersil perempuan itu di hotel-hotel.
Seorang tukang parkir asal Garut, Ape (30 tahun), sudah sejak tahun 1984 menjadi tukang parkir di depan Gedung Landmark, Jalan Braga. Ia mengaku terganggu dengan kehadiran perempuan-perempuan malam itu. Pasalnya, banyak mobil parkir di tempatnya tidak membayar uang parkir setelah numpang parkir untuk negosiasi dengan perempuan malam di sana. Bapak ini sangat prihatin melihat tempat bekerjanya itu dipakai untuk pelacuran. Ia mengatakan kepada saya, “seharusnya mereka itu dikejar terus ditangkap, lalu dipenjarakan di sel khusus wanita di daerah Majalengka. Biar jera dan tidak datang lagi ke sini.” Ia juga mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk mengingatkan mereka.
Ape bercerita kepada saya. Pertumbuhan pekerja seks komersil di kawasan ini mulai melonjak sejak tahun 2004. Razia yang dilakukan aparat tidak mengurangi praktik seks komersil di sana. “Saya kenal seorang pelacur di sini. Dia jadi primadona pada tahun 90-an. Dan kini kondisi kesehatannya sangat memprihatinkan. Uang hasil dagang itu habis untuk biaya pengobatan tubuhnya yang sering sakit-sakitan.” Ia ceritakan ini bukan kepada saya saja, sempat juga diceritakan kepada salah seorang perempuan malam yang terbilang masih pendatang baru. Maksudnya adalah untuk mengingatkan perempuan malam akan kehidupannya di usia dewasa nanti. Namun, mereka tetap saja menjalani profesi PSK dengan alasan kebutuhan biaya hidup.
Perempuan muda yang mangkal di kawasan Jalan Braga bukan saja mereka yang terlilit kesulitan ekonomi untuk hidup. Mereka yang di bawah umur banyak juga yang berasal dari keluarga mampu, namun karena salah pergaulan akibat hubungan keluarga yang tidak harmonis menyebabkan mereka dimanfaatkan oleh teman sendiri untuk menjual diri.
Selepas fajar, sekira pukul enam pagi. Para PSK berkumpul di Jalan Tamblong dengan sejumlah mobil taksi yang siap mengantar mereka pulang ke rumah kos atau kontrakan mereka. Kawasan Jalan Braga pun kembali senyap seperti buku sejarah wajah-wajah penjual tampang jaman kolonial.
Jalan Braga; Herittage Tourism vis a vis Terminal PSK di Bandung
Pelacuran memang bukan masalah sosial di satu kota saja. Kota Jakarta, misalnya, pelajar dan mahasiswi juga banyak yang menekuni profesi ini dengan berbagai alasan. Persoalan ekonomi keluarga menjadi alasan yang umum dipunyai pekerja seks komersil perempuan ini. Tidak hanya malam hari seperti lazimnya di Braga. Pelajar, sebut saja ayam abu-abu, mencari dan melayani pelanggannya sepulang dari sekolah mereka.
Usai berdiskusi tentang pariwisata di Jawa Barat (26/5) saya mewawancara insan pariwisata di Bandung mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Rina (27) berpendapat bahwa pelacuran di Braga, Bandung, baiknya dibuat lokalisasi yang legal. Biar lebih teratur ketimbang mangkal secara liar di jalan-jalan. Pemerintah kota Bandung semestinya membuat regulasi yang jelas untuk menangani masalah sosial ini. Mengurangi jumlah pekerja seks bukan perkara mudah. Karena siapapun yang menangani masalah ini selalu dihadapkan pada pertanyaan dari para pekerja seks komersil, “Mana lowongan pekerjaannya untuk saya?”
Fakta inilah yang saya hadapi ketika bertatap muka dengan pekerja seks komersil yang tidak terlokalisasi di kawasan Braga. Adalah Desi, nama panggilannya, perempuan asal Subang ini mencoba mengadu nasib di kota Bandung dengan bekerja malam sebagai pekerja seks komersil. Berulang kali kena tangkap aparat dan mendapat binaan menjahit di tempat rehabilitasi perempuan. Berulang kali juga dia menjajakan diri sebagai pemuas nafsu berahi lelaki malam yang menawarkan sejumlah uang padanya.
Desi mengaku tidak punya keahlian khusus, dan mencari pekerjaan pun sulitnya minta ampun hanya karena pendidikannya yang sampai sekolah menengah pertama. Latar belakang ekonomi keluarganya menjadi alasan Desi menjadi penjaja seks komersil di Bandung. Dan tidak hanya di kawasan Braga saja dia beroperasi menjaring pelanggan. Dia pernah mangkal di jalan Jenderal Sudirman, dekat kawasan tempat hiburan malam di sana.
Jawaban serupa juga ditemui Rina ketika sengaja bertanya kepada pekerja seks komersil di kawasan Saritem. Malah, banyak di antara mereka yang setengah paksa menuruti orang tua mereka untuk menjadi pekerja seks komersil di usia remaja. Tak ayal lagi bertujuan menopang biaya hidup keluarganya di kampung halaman.
Menenggarai kenyataan ini, Rina mengatakan “sebaiknya para pekerja seks itu dilokalisasikan di suatu tempat secara legal, dan jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini untuk mencegah pengaruh negatif kepada anak-anak. Bagaimana anak-anak mendapat pendidikan dan perkembangan psikologis yang baik bila lingkungannya mendidik anak-anak seperti itu secara tidak langsung. Regulasi dari pemerintah mengenai pelacuran ini akan mengatur batasan umur pekerja seks komersilnya, termasuk konsumennya. Sehingga anak-anak di bawah usia tidak akan terjerumus kepada seks komersil. Regulasi ini juga diharapkan mengatur ukuran kesehatan pekerja seks, sehingga berdampak pada pencanangan cegah penyebaran penyakit HIV/AIDS. Akan tetapi masalahnya menurut pemaparan Rina, “masyarakat kita tidak open minded,” kata Rina dengan heran.
Emme mengatakan kepada saya mengenai pekerja seks komersil di kawasan Braga. Opini seorang mahasiswi pariwisata ini hampir senada dengan pendapat Rina, bahwa peran pemerintah kota Bandung dalam mengelola kawasan Braga berkaitan dengan fenomena seks komersil di sana. Emme sangat tidak setuju dengan praktik seks komersil di sana, lebih karena pekerja seks komersil di sana banyak dilakukan oleh remaja di bawah umur. Usia muda yang semestinya mengenyam pendidikan untuk masa depannya sendiri di tengah masyarakat. Emme sangat menyayangkan apabila kawasan Braga digunakan sebagai pangkalan pekerja seks komersil atau sarana seks bebas. Braga merupakan salah satu tempat tujuan wisata domestik maupun wisatawan asing, dan berpotensi sebagai salah satu heritage tourism. Dia mengatakan, untuk membenahi tata kota dan fungsinya dibutuhkan regulasi dari pemerintah kota Bandung untuk menertibkan kawan Braga dari praktik seks komersil. Namun memang perlu proses yang tidak sebentar untuk membenahi kawasan Braga menjadi heritage tourism. “Bukankah para psk itu bisa diberdayakan menjadi guide tour di kawasan itu. Sehingga terbuka lapangan pekerjaan yang positif bagi mereka sendiri. Dan pekerjaan mereka menjadi sebuah promosi wisata ke luar”.
Yudi (28 tahun), karyawan swasta di Bandung, mengaku pernah menyantap kenikmatan seks dari pekerja seks di kawasan Braga pada tahun 2000. dari keterangan yang diungkapkan kepada saya. Pekerja seks komersil di sana bukan saja perempuan dewasa atau perempuan cukup umur saja, akan tetapi mahasiswi dan pelajar sekolah menengah umum. Alasan mahasiswi dan pelajar menjalani profesi itu karena uang. Uang untuk hidup, untuk sekolah dan atau untuk biaya kuliah. Waktu itu Yudi masih membayar tarif yang cukup murah ketimbang sekarang ini yang mencapai jutaan rupiah per malam. Padahal pada tahun 2000 tarif perempuan malam tidak mencapai satu juta rupiah dalam kontrak sort time. Jalan Braga sekarang berfungsi ganda. Kawasan heritage tourism dan wisata tubuh. Meski polisi pamong praja secara rutin melakukan operasi penertiban, para pekerja seks komersil tetap saja mangkal di sana, bahkan menjadi subterminal pelacuran bagi new entry dari luar kota Bandung, karena mereka yang sudah lama pindah pangkalan ke kawasan Jalan Jenderal Sudirman. (Teks dan foto oleh A. Firmansah. Dari Berbagai Sumber)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment